TERITORIAL.COM,JAKARTA – Layanan internet di Afghanistan kembali berfungsi setelah sempat diputus oleh pemerintahan Taliban selama hampir dua hari penuh. Pemulihan ini disambut lega masyarakat yang sebelumnya mengaku “buta” tanpa akses komunikasi.
Menurut pemantau internet NetBlocks, konektivitas memang belum sepenuhnya pulih, namun sudah ada tanda-tanda perbaikan jaringan. Keputusan untuk mengaktifkan kembali internet datang langsung dari perdana menteri Taliban.
Selama pemadaman, kehidupan masyarakat terguncang. Aktivitas bisnis lumpuh, penerbangan tertunda, layanan darurat terganggu, hingga komunikasi internasional terputus. Media asing mengaku kehilangan kontak dengan kantor mereka di Kabul, sementara masyarakat hanya bisa pasrah menunggu kabar.
Sebelum pemutusan total pada Selasa (30/9), Taliban sudah memblokir jaringan serat optik di sejumlah provinsi dengan alasan mencegah “kemaksiatan”. Namun, banyak warga menganggap langkah itu hanyalah awal dari pemadaman besar.
Ternyata, dalam kurun waktu 48 jam, Afghanistan mengalami “pemadaman total”. Internet seluler, siaran televisi satelit, hingga layanan di bandara Kabul ikut berhenti.
Bagi banyak perempuan, kehilangan internet terasa sangat berat. Mereka sebelumnya sudah dilarang bersekolah, bekerja, bahkan membaca buku karya perempuan di universitas. Internet menjadi jalan terakhir untuk tetap belajar secara daring.
“Dulu saya kuliah kebidanan, tapi itu dilarang. Internet jadi harapan terakhir untuk belajar online. Begitu diputus, rasanya dunia gelap,” kata Shakiba, seorang mahasiswi di Takhar.
Hal serupa dirasakan Fahima Noori. Ia dan dua adiknya kuliah online, tetapi kini hanya bisa duduk di rumah. “Kami punya mimpi besar, ingin membantu ayah secara finansial. Tapi semua gugur sejak internet diputus,” ucapnya.
Guru, Murid, dan Bisnis Ikut Terhantam
Bukan hanya pelajar, para pengajar juga terkena dampak. Zabi, seorang guru bahasa Inggris yang sebelumnya jurnalis, kehilangan pekerjaannya. Ia mengajar ratusan murid untuk persiapan tes IELTS secara online.
“Dua hari lalu, 45 murid saya sedang ujian. Tiba-tiba internet mati. Mereka sudah belajar berbulan-bulan, tapi kesempatan itu hilang begitu saja. Hati saya hancur,” ungkapnya.
Pebisnis lokal pun merasakan dampaknya. Anas, seorang penukar uang di Takhar, menyebut usahanya lumpuh hingga 90%. “Kami tidak bisa kirim email ke klien, transaksi berhenti total. Tapi yang lebih membuat saya takut adalah masa depan tiga putri saya yang belajar online,” katanya.
Bandara Kabul Nyaris Lumpuh
Pemadaman internet juga berdampak pada sektor transportasi. Kabul International Airport digambarkan “hampir kosong” karena penerbangan keluar-masuk terganggu. Data Flightradar24 menunjukkan sejumlah penerbangan dibatalkan, sementara lainnya berstatus “tidak diketahui”.
Seorang penumpang mengaku jadwal penerbangannya ditunda hingga beberapa hari. “Kota masih terlihat normal, tapi komunikasi terputus total,” ujarnya.
Misi PBB di Afghanistan mengecam pemutusan internet oleh Taliban. Menurut mereka, langkah itu mengisolasi Afghanistan dari dunia luar, mengancam stabilitas ekonomi, dan memperburuk krisis kemanusiaan.
Masyarakat sendiri menggambarkan kondisi itu seperti hidup tanpa cahaya. “Seluruh bisnis kami bergantung pada ponsel. Pasar beku, semua orang hanya di rumah. Rasanya seperti buta tanpa internet,” kata Najibullah, seorang pedagang di Kabul.
Bank-bank di ibu kota juga mengalami lumpuh. Antrian panjang terjadi karena warga ingin menarik uang tunai, namun jumlah yang bisa dicairkan sangat terbatas. Di beberapa provinsi, bank bahkan memilih tutup total.
Alasan Taliban Masih Menjadi Pertanyaan
Taliban belum memberikan alasan jelas atas pemutusan internet secara nasional. Sejumlah pejabat lokal hanya menyebutnya sebagai upaya “mencegah kejahatan”.
Bagi masyarakat, terutama perempuan dan anak-anak, keputusan ini dianggap sebagai lanjutan dari serangkaian pembatasan sejak kelompok itu kembali berkuasa pada 2021.
Kini, meski internet perlahan dipulihkan, ketakutan tetap menyelimuti warga. Mereka khawatir pemutusan bisa terulang kapan saja.
“Harapan terakhir kami adalah belajar online, tapi itu pun sudah dihancurkan,” tutur Fahima lirih.

