Jakarta, Teritorial.com – Beredar pesan layar biru bertuliskan “Taxation without representation is a crime” menolak kenaikan PPN 12 persen.
Pesan ini banyak dibagikan di media sosial dan menjadi perbincangan hangat. Seperti yang diunggah akun X Wibudi @BudiBukanIntel.
Tidak sedikit yang mendukung pesan layar biru berisi protes ini.
Namun, ada yang juga menyatakan kampanye penolakan kenaikan PPN hingga 12 persen ini kurang tepat.
Seperti diungkapkan Yacob Yahya @yacobyahya. Menurutnya, narasi ini menyesatkan, karena UU HPP No 7 tahun 2021 sudah dibahas dan disetujui oleh pemerintah dan DPR sehingga memenuhi syarat.
“Narasi yang tidak pas dan menyesatkan. UU HPP 7/2021 sudah dibahas dan disetujui antara Pemerintah dan DPR, sehingga sudah memenuhi proses representation-nya. Lagipula kebutuhan pokok tidak dikenakan PPN,” katanya, dikutip Selasa (19/11/2204).
Senada diungkapkan Prastowo Yustinus @prastow. Dikatakan, sejarah pesan biru itu dari zaman revolusi untuk menuntut tarif yang adil.
“Semboyan ‘taxation without representation is robbery’ (US) atau ‘no taxation without representation’ (UK) dulu digemakan zaman revolusi untuk menuntut tarif yang adil. Maka, semua tarif pajak harus melalui UU. Di Indonesia, ini mengejawantah di Pasal 23A UUD 1945,” jelasnya.
Dijelaskan dia, tarif PPN 12 persen per 1 Januari 2025 justru sudah diatur UU 7/2021, bukan sepihak pemerintah dan ujug-ujug.
“Jadi sudah melalui proses deliberatif di lembaga perwakilan rakyat. Bahwa saat ini ada situasi dan kondisi yg berbeda dan patut dipertimbangkan, itu juga aspirasi yang sah. Kini pemerintahan baru dan DPR baru dapat menggunakan kewenangan dan mandat yang ada untuk membahas lagi,” sambungnya.
Menurutnya, bola panas pelaksanaan PPN hingga 12 persen saat ini berada di tangan Presiden Prabowo dan DPR.
“Menkeu Sri Mulyani hanya menyampaikan sisi formal-teknokratik. Siapa pun menterinya pasti juga akan bersikap begitu. Semoga Pak Prabowo mendengarkan semua pihak untuk dapat diambil keputusan terbaik bagi bangsa Indonesia. Apalagi di sekeliling beliau ada beberapa penasehat yang sangat paham dan mumpuni,” tambahnya.
Dikatakan, keputusan ini akan menjadi momen bersejarah bagi Indonesia di dalam melakukan reformasi pajak secara menyeluruh.
“Ini bisa menjadi momen historis untuk sekali lagi menggaungkan reformasi pajak yg menyeluruh. Kesadaran dan kepatuhan ditingkatkan, sistem disempurnakan, profesionalitas dan integritas diperkuat. Keseimbangan hak dan kewajiban dijaga,” ungkapnya.
Sementara itu, bagi sebagian orang, kenaikan PPN hingga 12 persen ini sama sekali tidak mewakili kepentingan rakyat banyak.
“Naif banget aturan DPR udah pasti keterwakilan rakyat. Ciptaker noh banyak yang dianulir,” timpal @BudiBukanIntel.
Senada diungkapkan Thomassen @Thomass90392754. Menurutnya, rakyat sudah apatis dengan keterwakilan mereka di DPR. Sehingga, banyak keputusan DPR yang tidak mewakili kepentingan rakyat.
“Sejak kapan @DPR_RI benar-benar mewakili rakyat? Pileg dipilih dengan asas LUBER, dari sekian ratus anggota, boleh bersuara di DPR. Jangan salahkan DPR, DPR hanya wadah. Salahkan rakyat yamg kejebak rayuan manis caleg. Sudah sejak lama caleg yang dipilih mewakili ‘kualitas’ rakyat pemilihnya,” sanggah dia.
Sebelumnya diberitakan, pemerintah ngotot menaikkan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen, pada 1 Januari 2025.
Menteri Keuangan Sri Mulyani berdalih, kenaikan PPN menjadi 12 persen itu sesuai dengan amanat UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan menjaga APBN tetap sehat.
“APBN harus dijaga kesehatannya, karena APBN itu harus berfungsi dan mampu merespon global financial crisis. Countercyclical tetap harus kita jaga,” pungkasnya, dikutip Kamis (14/11/2024).