Washington, Teritorial.Com – Amerika Serikat (AS) resmi mencabut status Indonesia dari negara berkembang menjadi maju. Hal ini dilakukan oleh United States Trade Representative (USTR) dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) atas keberhasilan Indonesia memperbaiki perekonomian semenjak krisis moneter 1998.
Mengutip Tribunnews.com, Selasa (25/2/2020) sekarang AS menyatakan jika Indonesia sebagai negara maju dan akan mendapat perlakuan istimewa dalam urusan perekonomian. Namun pengamat ekonomi Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal Hastiadi menilai keputusan AS ini malah berpotensi menimbulkan dampak negatif kedepannya.
Fithra mengutarakan dampak negatif ini lebih ke politis dari pada teknis. “Dalam konteks ini saya rasa pertimbangannya lebih ke politis daripada teknis yaitu ingin mengeluarkan Indonesia dari fasilitas yang biasa diterima oleh negara berkembang,” kata Fithra, Minggu (23/2/2020).
Ia melanjutkan ada ada beberapa ketentuan dimana sebuah negara bisa dikatakan maju. Contohnya sektor industrinya yang harus mampu berkontribusi terhadap Gross Domestic Product (GDP) minimal 30 persen. “Kalau dilihat dari ukuran negara maju Indonesia belum masuk ke sana karena negara maju adalah negara yang berkontribusi industrinya terhadap GDP sudah 30 persen ke atas,” katanya.
Walau tren saat ini negara-negara maju cenderung turun kontribusinya terhadap GDP, namun mereka sudah melalui tahapan-tahapan industri sebelumnya yang bisa menjadi bukti jika perekonomiannya kuat. “Setelah melewati tahap itu baru bisa masuk kategori developed. Meskipun sekarang negara maju kontribusi industri terhadap GDP turun tetapi mereka sudah melewati tahapan sebagai negara industri.”
Selanjutnya pendapatan per kapita yang harus diatas 12 ribu dolar AS per tahun sebagai syarat menjadi negara maju. Nyatanya Indonesia baru mencapai 4 ribu dolar AS per tahun. “Hal yang bisa kita lihat lainnya adalah income per kapita yang kalau negara maju itu adalah di atas 12 ribu dolar AS per tahun di mana kita di bawah 4 ribu dolar AS per tahun.”
“Ditambah lagi dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau HDI (Human Development Index) kalau sudah di atas 0,85 HDI nya itu sudah menjadi negara maju tapi kita masih 0,7. Sebenarnya itu sudah cukup baik tapi belum bisa dikategorikan sebagai negara maju,” sebut Fithra.
Sementara itu Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan P Roeslani mengatakan dampak negatif lain dari masuknya Indonesia jadi negara maju ialah ekspor ke AS bisa tersendat. “Ya ini kan baru pengumumannya saja, tapi saya rasa fasilitas GSP itu kita lobi lagi kan. Apakah dampak Indonesia menjadi negara maju ini apakah otomatis GSP kita akan dihapus. Maka perlu dilakukan lobi pemerintah kepada AS ya,” jelasnya.