Jakarta, Teritorial.Com – Kementerian pertanian kembali jadi sorotan. Pangkal masalahnya, terbitnya izin untuk mengimpor jagung maksimal 100.000 ton tahun ini melalui Perum Bulog.
Keputusan ini diambil setelah rapat koordinasi terbatas menteri koordinator (menko) perekonomian, menteri pertanian, menteri perdagangan, menteri badan usaha milik negara (BUMN) dan Perum Bulog. Jagung yang diimpor untuk pakan ternak bukan konsumsi masyarakat.
“Siapa yang bilang surplus? Siapa yang minta impor? Dari kalau impor ada [rekomendasi dari Mentan]dan ada di rakortas [rapat koordinasi terbatas di bawah Kementerian Koordinator Perekonomian],” ujar Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita usai rapat terbatas persiapan kunjungan Presiden ke Papua Nugini dan Singapura di Kantor Presiden, beberapa waktu lalu.
Senada dengan Enggar, Menko Perekonomian Darmin Nasution juga mempertanyakan rencana impor jagung dari Kementerian Pertanian.
“Mereka usulkan ini perlu impor, kita juga tanya, ‘katanya surplus?’ Akhirnya kita tanya dan jawaban mereka harganya naik. Ini ada surat-surat dari peternak, macam-macam. Oke kalau begitu,” jelas Darmin pada Rabu (7/11/2018).
Kementan, kata Darmin, menyatakan bahwa harga jagung naik dan memicu adanya demonstrasi sehingga perlu adanya impor.
“Begini, yang melakukan impor itu Menteri Perdagangan, tapi rekomendasinya itu dari Menteri Pertanian. Walaupun Kementan bilang produksi jagung surplus 13 juta ton, [faktanya]harganya naik, lalu banyak yang marah, mau demo segala macam. Kemudian Menteri Pertanian bilang, minta diimpor deh. Berapa? 100 ribu ton. [Saya minta] buat surat dong, jangan nanti tiba-tiba nggak mengaku,” ujarnya.
Menteri Pertanian, Amran Sulaiman, di sisi lain mengatakan jagung yang telah diimpor itu nantinya akan masuk gudang Bulog dan tidak akan dikeluarkan jika harga sudah turun.
“Kemudian yang dipertanyakan, kalau 50.000 atau 100.000 impor. [Itu] artinya masih surplus kan. Masih berprestasi petani kita, tolong hargai petani Indonesia. Kalau tidak mau hargai saya, enggak masalah. Itu saudara kita sendiri yang berproduksi.”
“Nah [impor]50.000 ton ini tidak ada artinya. Sangat kecil. Dan ini sebagai alat kontrol saja. Untuk stabilitas harga. Nanti disimpan Bulog. Kalau harga turun tidak akan keluar. Dan sebentar lagi kita panen raya,” jelas Amran.