Jakarta, Teritorial.com – Kekuatan ekonomi Amerika Serikat (AS) yang sempat dikabarkan mengalami pelemahan akibat mengundurkan diri dari keanggotan Trans Pacific Partnership (TPP), kemudian beberapakali pemerintahannya sempat mengalami shut down, ternyata berbanding terbalik dengan nilai tukar Dollar yang kiat meroket.
Tak jauh berselang sesaat setalah Gubernur Federal Reserve Jerome Powell menyampaikan pidato di hadapan sidang Senator AS serentak membuat seluruh nilai mata uang utama dunia terkoreksi terhadap dollar AS, tanpa kecuali rupiah. Hal ini tentunya semkin menyudutkan Rupiah yang sejak dalam seminggu ini terus mengalami pemerosotan.
Prediksi bahwa dolar AS bakal menguat sudah disampaikan banyak analis dunia, terutama di Wallstreet. Digambarkan bahwa Fed Fund Rate sebagai pemicu penguatan USD akan dinaikan sebanyak tiga kali tahun ini menyusul membaiknya ekonomi Negeri Paman Sam itu. Benar saja, begitu pidato Powell disampaikan, greenback menguat terhadap seluruh mata uang dunia, termasuk rupiah ikut terhempas oleh euforia pemulihan ekonomi AS.
Pidato Powell benar-benar ujian berarti bagi Euro, hari ini mata uang tunggal Eropa itu terkoreksi 1,2% ke posisi 1,2205 dibandingkan posisi sebelumnya 1,2354. Penguatan greenback mengonfirmasi kembalinya keperkasaan USD pasca kebijakan quantiative easing, tappering off, dan saatnya hiking rate.
Adapun jika dibandingkan dengan yuan Cina, USD telah melampaui 0,24% yang berarti senilai dengan 6,33 yuan/USD. Hal serupa terjadi pada won Korea Selatan 0,89% menjadi 1.080 won, juga menguat 0,04% terhadap dollar Singapura menjadi 1,32/USD, termasuk terhadap 0,48% terhadap ringgit Malaysia menjadi 3,92/USD.
Dilansir dari xe.com (2/3/2018), Sementara terhadap Rupiah tepatnya hari ini USD menguat 0,34% atau 47 poin ke posisi Rp13.707/USD dibandingkan posisi sehari sebelumnya yakni Rp13.660/USD. Namun berdasarkan situs www.xecurrency.com, nilai tukar rupiah hari ini ditutup di level Rp13.745 per dolar AS. Rupiah sempat diperdagangkan pada posisi terendah Rp13.670 dan tertinggi Rp13.746. Sedangkan terhadap yen Jepang, dolar AS justru menurun 0,12% menjadi 107,8 yen per dolar AS.
Dalam pidatonya hari ini, Powell menekankan perlunya bank sentral Amerika mengambil kebijakan untuk mencegah overheating ekonomi, pada saat yang sama juga mendorong agar inflasi bergerak ke level 2%. “The Fed akan terus menyeimbangkan kebijakan antara mencegah ekonomi menjadi overheating dengan mendorong inflasi ke level 2% secara berkelanjutan,” demikian pidato pembuka Powell seperti dikutip Reuters.
Pidato tersebut tentu saja dibaca pasar bahwa kebijakan moneter The Fed akan semakin ketat, karena ada kalimat “mencegah overheating“. Powell juga menegaskan perkembangan ekonomi Amerika yang semakin membaik.
Perkembangan yang terjadi sejak rapat Federal Open Market Committee (FOMC) pada Desember 2017 akan menjadi perhatian dan menjadi pijakan dalam kebijakan suku bunga yang baru. “Kita melihat berbagai data, dan menurut saya akan menambah kepercayaan bahwa inflasi bergerak menuju targetnya. Kita juga melihat penguatan di berbagai sektor dan kebijakan fiskal pun semakin stimulatif,” papar Powell.
Oleh karena itu, pasar menilai ada kemungkinan suku bunga acuan akan dinaikkan sampai empat kali, melebihi perkiraan sebelumnya yaitu tiga kali. Ini membuat investor kembali enggan bermain di aset-aset berisiko seperti saham dan beralih ke instrumen aman seperti obligasi pemerintah AS dan (tentunya) dolar AS.
Dolar AS pun mendapatkan suntikan tenaga. Dolar Index, yang mencerminkan posisi dolar AS terhadap enam mata uang utama dunia, masih dalam tren menguat sejak malam kemarin.
Siaga Satu BI Waspadai Anjloknya Rupiah
Bank Indonesia (BI) tentu saja tidak akan lari dari pasar, melihat posisi Rupiah yang tertekan, kemungkinan besar BI melakukan intervensi agar pelemahan rupiah tidak terlalu dalam. Apalagi Gubernur BI Agus DW Martowardojo sebelumnya sudah mengingatkan akan terjadinya tekanan rupiah terhadap dolar AS saat The Fed menaikkan bunga.
Yang perlu diwaspadai sebenarnya adalah, aksi balasan bank-bank sentral di dunia. Apakah kenaikan bunga Fed Fund Rate ini akan diikuti kenaikan bunga acuan bank-bank sentral lainnya?
Tentu saja perang kebijakan meneter ini akan disahuti oleh European Central Bank (ECB), People Bank of China (PBC), Bank of Japan (BoJ), Reserve Bank of India (RBI), maupun Bank of Korea (BoK), dan tentu saja oleh BI.
Kenaikan harga minyak dunia yang kini telah menyentuh level US$67 per barel, tentu saja menjadi pekerjaan rumah yang tak tidak ringan. Karena setiap kenaikan minyak US$1 per barel saja dampaknya akan meningkatkan beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sangat signifikan.
Yang paling penting, demi mengantisipasi kenaikan bunga Fed Fund Rate, telah terjadi capital outflow atau dana pergi ke luar sejak Januari—Februari 2018 mencapai Rp31 triliun. Di posisi Januari dana asing di Indonesia masih di kisaran Rp41 triliun, kini tinggal Rp13 triliun. Ini merupakan pekerjaan rumah yang maha besar, karena Gubernur BI selain bertugas menjadi palang pintu stabilisasi moneter, juga bertugas menjaga framing investasi bersama Menteri Keuangan.
Karena itu, BI harus menunjukkan dedikasi dan kredibilitasnya di pasar. Ini adalah ujian maha penting bagi bank sentral untuk menunjukkan kedigdayaannya pasca krisis moneter 1998. Kalau rupiah masih terus melemah, maka buat apa bank sentral dikhususkan tugasnya menjaga nilai tukar rupiah. (SON)