Teritorial.com – Masyarakat Muslim di sudut kota Hotan, Xinjiang, China, pada hari rabu lalu (5/6), merayakan Lebaran dengan suasana yang sunyi dan mencekam.
Beberapa petugas keamanan terlihat sedang memantau kegiatan ibadah shalat Idul Fitri di masjid Idkah yang merupakan salah satu masjid terbesar di China dan mendapatkan izin dari pemerintah.
Puluhan masjid lainnya saat ini telah dirobohkan dan hanya bersisa puing-puing bangunan yang masih menumpuk dibeberapa tempat bekas masjid-masjid tersebut berdiri. Masjid Heyitkah yang sempat menjadi kebanggaan di kota Hotan karena bangunannya yang indah pun turut menjadi sasaran pemerintah China untuk dirobohkan dan beralih fungsi menjadi lahan parkir.
Kini pelaksanaan ibadah bagi umat Muslim di Xinjiang yang mayoritas adalah suku Uighur tersebut dilakukan secara diam-diam. Sautan takbir dan tahlil sebagai penanda masuknya bulan Syawal tidak terdengar lagi disana.
Darren Byler, pengajar di Universitas of Washington yang fokus tentang budaya Uighur mengungkapkan bahwa umat Muslim di Xinjiang juga sudah dilarang mengucapkan salam dan berpuasa secara terbuka di ruang publik.
Keamanan dilakukan secara ketat dengan pengerahan aparat keamanan, pemasangan detector metal, dan sejumlah kamera pengawas yang dipasang didalam masjid. “Situasi di sini amat ketat, membuat saya deg-degan. Saya tidak pergi ke masjid lagi, saya takut,” ujar seorang Muslim di kota Hotan yang identitasnya disamarkan demi alasan keamanan.
Beberapa tahun terakhir, Pemerintah Cina telah meningkatkan kontrol dari aktivitas tradisi dan kegiatan beragama di tempat publik di Xinjiang. Puluhan tempat ibadah telah di musnahkan, atau dijadikan tempat terbuka untuk publik. Polisi juga menjaga ketat tempat masjid-masji tersebut dihancurkan di daerah Artux, utara Kashgar, dari para jurnalis.
Pemerintah China juga telah mengakui bahwa telah menjalankan “program pendidikan dan pelatihan” yang bertujuan menjauhkan orang dari paham ekstremisme dengan mengajarkan hukum China dan Mandarin.
Pemerintah Xinjiang mengatakan bahwa masyarakat dalam pusat pelatihan itu tidak diizinkan melaksanakan kegiatan kepercayaan mereka karena hukum China melarang melakukannya dalam fasilitas pendidikan.
Namun pemerintah China mengatakan bahwa masyarakat bebas melakukan kegiatan keagamaan ketika mereka kembali ke rumah masing-masing pada akhir pekan.
James Leibold, pakar hubungan etnis dan kebijakan China di La Trobe University menilai partai Komunis sebagai penguasa negara tersebut memandang agama sebagai ancaman yang nyata. “Dalam jangka panjang, Pemerintah China ingin mencapai masyarakat yang sekuler,” ucap Leibold.