Jakarta, Teritorial.Com – Keinginan untuk melakukan perjalanan ibadah haji bagi masyarakat Indonesia tercatat sudah dimulai sejak pertengahan tahun 1300-an dimana saat itu merupakan tahun-tahun pertama masyarakat Indonesia memeluk agama islam.
Berbeda dengan situasi saat ini, dimana fasilitas untuk menunaikan ibadah haji terbilang cukup dan bahkan sangat nyaman. Masyarakat Indonesia pada zaman dahulu, khususnya sejak tahun 1300-an, harus menghadapi beberapa kendala sebelum akhirnya mereka dapat menunaikan ibadah haji.
Saat itu, untuk dapat sampai ke tanah suci, mereka yang ingin menunaikan ibadah haji harus menumpang kapal laut, dimana waktu tempuh yang dibutuhkan lebih dari dua tahun dengan kapal-kapal yang masih sederhana.
Waktu tempuh yang sangat lama tersebut pada akhirnya menyebabkan tidak sedikit masyarakat Indonesia yang ingin menunaikan haji terserang penyakit di perjalanan. Selain itu, ancaman dirampok atau kapal tenggelam karena diserang badai menjadi tantangan lainnya dalam menempuh perjalanan menuju tanah suci Mekkah.
Menyadari resiko perjalanan yang terbilang cukup tinggi, maka pada saat itu, setiap masyarakat Indonesia yang ingin melakukan perjalanan haji seperti mempertaruhkan nyawa mereka, sehingga sebelum berangkat mereka terbiasa untuk meminta maaf kepada orang-orang atau keluarga mereka.
Tidak hanya perjalanan yang “mematikan”, hambatan lainnya bagi masyarakat indonesia saat itu untuk melakukan perjalanan haji justru datang dari pemerintah Hindia. Pada masa penjajahan, pemerintah Kolonial Belanda kerap khawatir dengan orang-orang yang pergi haji.
Saat masyarakat Indonesia tiba di kota Mekkah, mereka tidak akan memiliki kasta seperti yang mereka rasakan di tanah air. Hal tersebut faktanya menjadi kekhawatiran bagi pemerintah Kolonial Belanda karena dapat membuat orang-orang Indonesia menyadari bahwa semua orang memiliki hak yang sama.
Ketika mereka menyadari hal tersebut, Kolonial Belanda khawatir akan memicu pemberontakan di wilayah Hindia Belanda. Atas alasan tersebut, pemerintah Kolonial Belanda saat itu sangat memperketat orang-orang Hindia Belanda yang ingin pergi haji.
Selanjutnya, pada tahun 1825-1831 pemerintah Kolonial belanda mengeluarkan peraturan bagi jemaah haji. Namun, sayangnya peraturan itu hanya disiarkan secara rahasia ke masing-masing residen yang ada. Peraturan itu meliputi kewajiban bagi jemaah haji dari pulau Jawa untuk membayar 110 gulden agar bisa mendapatkan izin berangkat. Selanjutnya, mereka juga harus menggunakan kapal belanda. Jika mereka yang membawa izin tersebut maka akan dikenakan biaya 1000 gulden.
Tahun 1825 juga menjadi penanda awal bagi pemerintah Kolonial melihat potensi ekonomi dari perjalanan haji karena peminatnya selalu bertambah setiap tahun.
Namun, pada tahun 1852, peraturan kembali diubah. Gubernur pemerintah Belanda menginstruksikan pengawasan yang lebih ketat kepada para haji. Meskipun surat izin atau paspor haji masih diwajibkan, tetapi tidak ada denda pajak dan didapatkan secara gratis.
Pengawasan tersebut seperti instruksi kepada Gubernur Pesisir Barat Sumatera yang diharuskan memberikan laporan siapa saja yang telah berangkat atau sudah kembali dari Mekkah. Selain itu, Gubernur Pesisir Barat Sumatera juga diinstruksikan untuk mengawasi tindakan-tindakan para haji pada umumnya. Instruksi tersebut menunjukkan bahwa pemerintah Kolonial Belanda bersikap hati-hati kepada para jemaah, khususnya mereka yang berasal dari daerah rawan pemberontakan.
Kekhawatiran tersebut akhirnya menyebabkan dikeluarkannya peraturan baru pada tahun 1859. Pada tahun itu, meskipun paspor haji bisa didapatkan secara gratis, tetapi calon haji harus membuktikan bahwa mereka mempunyai biaya pulang pergi serta biaya untuk keluarga yang ditinggalkan.
Selanjutnya, setiap jemaah haji yang pulang dari Mekkah akan diuji oleh para bupati, kepala daerah, atau petugas yang ditunjuk sebelum bisa memakai gelar dan atribut haji. Jika mereka lulus ujian tersebut, maka mereka dapat dipanggil sebagai haji atau memakai pakaian haji.
Pada tahun 1889, Snouck Hurgronje datang ke Indonesia dan mengkritik tajam kebijakan haji. Dia berpendapat bahwa jemaah haji yang datang dari Mekkah tidak perlu dikhawatirkan karena kecil sekali kemungkinannya dipengaruhi ide Pan Islam.
Pasca kritik tersebut, pada tahun 1902 kembali dilakukan perubahan. Pengawasan ketat terhadap para haji masih dilakukan, tetapi ketentuan perihal ujian dalam pemakaian gelar dan pakaian haji dihapuskan.
Selanjutnya, perihal penggunaan kapal, pada tahun 1825 para jamaah haji asal Indonesia untuk pertama kalinya berangkat menggunakan kapal khusus pengangkut jemaah haji yang disediakan oleh Syaikh Umar Bugis.
Inggris dan orang Arab yang ada di Batavia pada akhirnya turut serta melakukan bisnis pengangkutan haji setelah mengetahui bahwa jumlah jemaah haji asal Indonesia banyak setiap tahunnya.
Dulu, terdapat Pulau Onrust yang dijadikan sebagai tempat karantina haji dari tahun 1911-1933. Pulau Onrust terletak di Kepulauan Seribu. Di pulau itu, para calon haji dibiaskan dahulu dengan udara laut karena perjalanan yang harus ditempuh sangat lama untuk bisa sampai ke kota Mekkah. Pulau ini juga dijadikan sebagai tempat karantina bagi mereka yang baru pulang menunaikan ibadah haji.