“We only get one planet” – Sepenggal kalimat yang disampaikan oleh Leonardo DiCaprio yang didaulat menjadi duta perubahan iklim oleh PBB, seolah menyadarkan bahwa kerusakan lingkungan akan berdampak langsung kepada seluruh umat manusia karena hanya satu planet sebagai rumah kita. Fokus masalah internasional saat ini sudah tidak lagi hanya terfokus pada masalah perang-damai, ekonomi, serta aliansi semata. Isu-isu kontemporer kini menghiasi fokus internasional. Dunia internasional dipusingkan oleh satu masalah yang membuat dunia harus bersatu menghadapinya; isu lingkungan hidup.
Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, lingkungan hidup yang merupakan kesatuan ruang benda, daya, keadaan, makhluk hidp yang mempengaruhi kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Perubahan iklim secara sederhana dapat dipahami sebagai perubahan pola cuaca dan suhu normal di seluruh dunia selama periode waktu yang panjang. Suhu rata-rata di bumi secara perlahan mengalami peningkatan selama 100 tahun terakhir. Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), laju emisi gas rumah kaca cenderung menyebabkan kenaikan suhu rata-rata sebesar 0,2ºC per 10 tahun. Bukti terbaru menunjukkan lebih banyak lagi perubahan yang cepat. The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) (Mark Lazarowicz, 2009), membuat daftar mengenai beberapa gas antropogenik rumah kaca lainnya yang berkontribusi dalam pemanasan global. Diantaranya yaitu; metana (CH4), dinitrooksida (N2O), perfluorokarbon (PFC), hidrofluorokarbon (HFC), dan sulfurheksafluorida (SF6). Serta tambahannya adalah klorofluorokarbon (CFC) gas-gas tersebut digabungkan ke dalam gabungan konsentasi atmosfer yang disebut CO2 ekuivalen atau CO2e.
Menyadari bahwa pemanasan global yang merupakan isu lingkungan terpopuler semakin mengancam dunia, PBB mengadakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) pada bulan Juni 1992 di Rio de Janeiro yang lebih dikenal sebagai KTT Bumi (Earth Summit). Hasil dari beberapa pertemuan, keluarlah sebuah Rapat Tahunan COP (Conference Of the Party) III di Kyoto pada tahun 1997 yang diadakan oleh UNFCCC yang disebut Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change, dinegosiasikan di Kyoto, Jepang, pada Desember 1907, dibuka penandatanganan pada 16 Maret 1998, dan ditutup pada 15 Maret 1999. Kyoto Protocol, mewajibkan negara maju yang disebut Annex I Countries untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 5% dibawah level tahun 1990 pada periode 2008 sampai 2012 (Forqan, 2009).
Indonesia dan Perubahan Iklim
Indonesia sebagai negara yang memiliki garis pantai terpanjang didunia terancam berbagai macam masalah dengan adanya isu perubahan iklim. Perubahan iklim akan berdampak pada masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir dan mereka yang menggantungkan hidupnya pada pertanian dan perikanan yang sensitif dengan iklim. Perhitungan kerugian ekonomi Indonesia jangka panjang menunjukkan angka yang signifikan. Menurut data Worldbank, kerugian PDB pada tahun 2010 diperkirakan mencapai 25 persen, atau empat kali kerugian PDB rata-rata global. Nilai ini bertambah jika peluang terjadinya bencana turut diperhitungkan, kerugian dapat mencapai 7 persen PDB (Tim Worldbank, 2009). Sadar akan ancaman nyata perubahan iklim, Indonesia menjadi salah satu negara yang mendukung pencegahan dampak kerusakan lingkungan. Indonesia turut andil dalam pertemuan-pertemuan Internasional bertema lingkungan. Bahkan Indonesia ditunjuk menjadi tuan rumah pertemuan di Bali tahun 2007.
Menurut data Direktorat Pembangunan, Ekonomi, dan Lingkungan Hidup, pada tahun 2009, Indonesia mengumumkan komitmen penurunan emisi sebesar 26% di bawah tingkat business as usual (BAU) pada tahun 2020 dan sebesar 41% dengan bantuan internasional. Tahun 2015 Indonesia menyampaikan Intended Nationally Determined Contribution (INDC) dengan target penurunan emisi pada tahun 2030 sebesar 29% dengan upaya sendiri, dan 41% dengan bantuan internasional. INDC Indonesia meliputi sektor energi, industri, pertanian, tata guna dan alih guna lahan serta kehutanan (land-use, land-use change and forestry), dan limbah (Direktorat Pembangunan, Ekonomi, dan Lingkungan Hidup, 2016).
Dilema Perubahan Iklim dan Diplomasi Lingkungan Indonesia
Dalam tulisannya, Manfred Hornung (2017) mengungkapkan bahwa Indonesia dihadapkan dilema besar dalam masalah perubahan iklim. Indonesia yang disebut sebagai paru-paru dunia, pada Oktober 2015, memiliki masalah emisi CO2 yang mencapai total 1,62 milyar ton. Kebakaran hutan menjadi penyumbang sebanyak 63% dari total CO2 Indonesia. Namun disaat yang sama, Indonesia merupakan negara terbesar penghasil minyak kelapa sawit dengan 52% produksi global. Menyadari akan hal tersebut, Indonesia melakukan diplomasi yang disebut sebagai diplomasi lingkungan. Menurut The Jakarta Globe (2011), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan permasalahan lingkungan merupakan permasalahan utama dalam kebijakan pemerintahaannya. Dibawah kepemimpinannya, Indonesia mengikuti konferensi penting internasional seperti UN Climate Change Coference in Bali 2007, the first World Ocean Conference in Sulawesi 2009, dan Environment summit in Jakarta 2011.
Indonesia turut berkontribusi dalam upaya inisiatifnya yang menjadikan REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) sebagai bagian pendekatan internasional untuk perlindungan iklim. Dengan sistem ini, Indonesia diperkirakan mampu mengurangi 22 persen emisi Karbon. Indonesia menjadi negara yang paling banyak memperoleh insentif dengan diperkirakan memperoleh 3,3 milyar Euro yang dihasilkan dari kesepakatan baik bilateral maupun multilateral REDD diseluruh dunia. 40 proyek REDD yang ada saat ini dibiayai melalui multilateral dibawah PBB dan bilateral antara Indonesia dengan Australia dan Norwegia. Pemerintah Australia mengeluarkan dana bantuan sebanyak 55 juta Euro untuk mengurangi emisi (Satriastanti, 2010). Ada beberapa tantangan agar proyek REDD dan tujuan Kyoto Protocol bisa berjalan sempurna. Indonesia dihadapkan dengan tantangan konflik ekonomi dan kepentingan lingkungan hidup, konflik politik dan kepentingan sosial, dan persyaratan kebijakan. Namun dengan diplomasi yang telah ditempuh Indonesia, Indonesia terus berupaya untuk membenah diri dan dapat menekan angka emisi karbon yang menyebabkan perubahan iklim bumi.
Melalui REDD, Indonesia memperoleh dana bantuan yang jumlahnya cukup banyak. Namun Indonesia masih memiliki masalah internal yang menjadi penghambat jalannya program tersebut dan menjadi tantangan tersendiri untuk memenuhi Kyoto Protocol. Adanya konflik ekonomi-lingkungan masih menjadi fokus yang memberikan dilema terhadap Indonesia. Pemerintah Indonesia dapat memulai dengan lebih memfokuskan kebijakan terkait pelestarian hutan konservasi yang tercakup didalamnya kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam. Pengadaan sektor pariwisata alam mungkin menjadi solusi yang baik. Selain menumbuhkan kesadaran masyarakat, turut dapat menambah pendapatan negara jika sudah sampai skala pariwisata internasional. Perbaikan dan perhatian yang lebih terhadap kebijakan ekonomi lingkungan juga turut diperhatikan lebih lanjut. Melalui tahap demi tahap, kriris perubahan iklim dunia bisa diatasi dimulai dari Indonesia.
Arya Luthfi Permadi – Magister Hubungan Internasional Universitas Riau, Pemerhati Isu Lingkungan dan Keamanan Internasional.
Referensi:
- Forqan, Berry Nahdian, 2009, Pemanasan Global, Skema Global dan Implikasinya Bagi Indonesia, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 6, No. 1.
- Direktorat Pembangunan, Ekonomi, dan Lingkungan Hidup, 2016, Perubahan Iklim, tersedia di https://www/kemlu/go.id/id/kebijakan/isu-khusus/Pages/Perubahan-iklim.aspx diakses pada 23 Oktober 2017.
- Satriastanti, Fidelis E., 2011, Al Gore: ‘Chaos Awaits if Nothing Happens’, The Jakarta Globe, tersedia di http://jakartaglobe.id/archive/al-gore-chaos-awaits-if-nothing-happens/ diakses pada 23 Oktober 2017.
- Satriastanti, Fidelis E., 2010, Indonesia Sees Small Victories At Cancun Talks, The Jakarta Globe, tersedia di http://jakartaglobe.id/archive/indonesia-sees-small-victories-at-cancun-talks/ diakses pada 23 Oktober 2017.
- Hornung, Manfred, 2017, Indonesia’s Dilemma: The G20 and the Uniter Nation’s Sustainable Development Goals Within a National Context, Heinrich Böll Foundation.
- Lazarowicz, Mark, 2009. Global Carbon Trading – A Framework for Reducing Emission, The Stationery Office: Irlandia.
- Tim World Bank, 2009, Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim, Document & Reports of The World Bank: Indonesia Policy Brief. Vol. 1.