Ankara, Teritorial.Com – Kemenangan mutlak kandidat Petahana Presiden Racep Tayip Erdogan dalam Pemilihan Presiden di Turki atas lawan politiknya nampaknya belum cukup kuat menghantarkan AKP sebagai pemegang suara mayoritas dalam Parlemen.
Atas hasil Pemilu tersebut berbagai tanggapan berdatangan baik dari pendukung partai AKP, maupun oposisi. Dibawah kepemimpinan Erdogan, Turki perlahan berubah menjadi aktor baru yang kini mulai menunjukan “taringnya” dalam percaturan politik internasional.
Posisi strategis Turki baik secara geografis maupun secara demografis membuat negara berbedera bulan sabit bintang ini mampu memainkan kontribusi penting baik dalam skala Eropa maupun Timur Tengah. Dukungan Turki terhadap kepentingan umat Islam juga dipandang sebagai manuver politik Erdogan disaat negaranya tersebut juga tergabung dalam pakta pertahanan atlantik utara (NATO).
Memberikan izin tinggal terhadap pengungsi Suriah di perbatasan, hingga menggelar operasi militer terhadap pemberontak suku Kurdi yang didukung oleh kekuasan oposisi YPG di wilayah selatan perbatasan dengan Suriah setidaknya berhasil memberikan daya deterrence terhadap pasukan koalisi barat yang berada di Suriah.
Adu Kuat Nasionalis Sekuler VS Islamis, Erdogan Mendayung Diantara Dua Karang
Sejak terpilihnya Erdogan sebagai presiden Turki, pergeseran politik Turki meninggalkan warisan kediktaktoran sekuler ala Mustofa Kemal At Tarturk mulai terlihat. Seorang tokoh nasionalis sekuler yang berhasil menghapus sejarah Khalifah Turki Ustmani dianggap telah menjadi kegagakan masa lalu Turki.
Tidak langsung mengubah konstitusi menjadi negara Islam, namun ,embela kepentingan umat Islam terus menjadi semangat baru yang digelorakan Erdogan mengawali era kepemimpinannya. Bersamaan dengan perbaikan ekonomi dan kondisi tatanan sosial di masyarakat, dibawah Erdogan Turki berhasil melakukan revolusi dan modernisasi alutsista hingga termasuk sebagai salah satu negara dengan kemandirian industri pertahanan yang tidak kala bersaing dengan negara lainnya.
Ditengah tekanan politik hingga perdebatan dua kutub antara kelompok Nasional sekuler dan Islamis, layaknya sebuah King Maker sejati, Erdogan berhasil mendayung diantara dua karang dengan tidak meninggalkan sedikitpun kepentingan dau pertikaian kepentingan politik antara dua kekuatan tersebut.
Mementingkan sejumlah kebijakan yang dianggap Pro-Islam tak lantas membuat Erdogan secara terang-terangan memploklamirkan kembali Turki sebagai negara Islam. Memahami bahwa tidak mudah merubah lebel Sekuler yang telah melekat sejak era Mustofa Kamal, menjadikan Erdogan sadar bahwa yang terpenting saat itu adalah soal penantaan kembali hukum dan kewenangan aparatus negara yang dianggap telah banyak merugikan masyarakat di atas kediktaktoran Mustofa Kamal.
Belajar dari apa yang terjadi pada Revolusi Mesir saat Arab Spring hingga terpilihnya pentolan Ikhwanul Muslimim (IM) Moursi sebagai Presiden melalui pemilu demokratis yang setahun kemudian kembali ditumbangkan oleh kekuatan militer pimpinan Abdel Fattah al-Sisi, membuat Politik identitas tidak menjadi pilihan utama diawal kepemimpinan Erdogan.
Alasan demokratis dengan melindungi Hak-hak setiap warga, pelarangan terhadap pemakaian simbol-simbol keagamaan di era Kemal dianulir oleh Erdogan. Pemakain Salib, Niqob, Hijab kembali diperbolehkan. Keleluasan setiap warga negara dalam memeluk serta mengamakan ajaran agama masing-masing kembali dilindungi dalam konstitusi Turki. Pengembalian fungsi Masjid Biru dan Hagia Sofya yang sebelumnya menjadi Moseum kini dipergunakan kembali sebagai tempat Ibadah, juga menjadi simbol akan kedekatan sosok Erdogan sebagai pemimpin Muslim.
Disamping memerangi aktor-aktor politik yang selama ini mengeruk keuntungan sepihak dari negara, Isu-isu kemanusian terus menjadi perhatian Erdogan. Tak jarang dalam pembagunan ekonomi pun Erdogan harus membuka diri terhadap dunia luar. Ditolak dalam keanggotaanya dalam Uni-Eropa tak lantas membuat Turki kehilangan arah. Kerja sama bilateral dengan sejumlah negara di Asia maupun di Eropa bahkan Amerika Serikat sekalipun ditempuhnya.
Geopolitik Timur Tengah Adu Kuat Pengaruh Turki, Iran dan Israel Dibalik Layar
Ditengah memanasnya suhu politik Timur Tengah, Turki terbilang cukup berhasil memanfaat momen tersebut untuk menunjukan pada dunia luas bahwa keberadaanya kini mulai diperhitungkan. Kemampuan diplomatis ditambah dengan sejarah Islam yang kental sebagai warisan terakhir peninggalan Kekhilafan Islamiah mebuat Turki mengambil langkah baru dengan sebagai stabilisator terhadap kondisi geopolitik Timur Tengah.
Menaruh simpatik lebih terhadap tragedi kemanusiaan di Palestina dan Suriah tak jarang membuat Turki harus bersebrangan dengan kekuatan besar lainnya. Kritik hingga kecaman terhadap pemerintah Israel seolah berubah menjadi agenda polugri Turki yang terus digelorakan. Bahkan Erdogan dalam beberapa pertemuan formal internasional mengkritik keras atas kejahatan kemanusiaan yang selama ini dilakukan oleh Israel terhadap warga Palestina.
Berbeda dengan di Palestina dimana Turki secara terang-terangan menentang Isral, di Suriah Turki memilih untuk tidak terlibat terlalu dalam terlibat konflik kepentingan yang tengah berlangsung. Namun begitu isu-isu kemanusian terus menjadi perhatian Erdogan. Beberapa nota protes disampaikan ketika Pemerintah Suriah Bashar Al-Assad terbukti menggunakan senjata Kimia dalam menyerang kontong-kantong kekuasaan oposisi diluar dari batas norma hukum.
Tidak secara langsung sepaham dengan pihak koalisi barat AS, Turki justru meminta agar Iran tidak telribat dalam pusaran konflik di Suriah. Dukungan Taheran dalam mempertahankan kekuasaan pemimpin diktaktor Suriah Assad dinilah hanya akan semakin memperkeruh keadaan. Layaknya menjadi dua poros kekuatan alternatif di dalam pusaran konflik Timur Tengah, silang pendapat Turki-Iran terus berlanjut.
Iran yang terlebih dahulu hadir sebagai kekuatan alternatif di kawasan Timur Tengah nampaknya mendapat tantangan baru dengan kebangkitan pengaruh Turki di kawasan. Dalam konflik lainnya seperti pada perang sipil yang terjadi di Yaman, Turki lebih memilih untuk berada ditengah barisan AS dan sekutunya Arab Saudi, sedangkan atas propaganda anti-barat Iran selalu berada pada posisi yang bersebrangan dengan AS.
Faktor geopolitik tetap mengharuskan kedua negara tersebut untuk saling berhadap walaupun, secara kasat mata berada pada posisi yang sama yakni sangat anti-Israel dan pro-Palestina. Menjadi layaknya Penguasa kecil di pesisir Persia, Iran dengan semangat barunya mulai kembali mengusung kekuatan-kekuatan ideologis dimana hal tersebut terlihat dari dukungannya terhadap Pemberontak Syiah Houthi di Yaman, Hizbullah Lebanon dan dukungan terhadap pemerintah Bashar Al-Assad.
Alasan apa yang tepat menggambarkan manuver politik Iran jika bukan karena alasan ideologis ?, pertanyaan tersebut membuahkan hasil pemikiran bahwa Iran dalam hal ini menghadapi tantangan baru dengan tekanan politik Turki yang mana secara ideologis berseberangan dengan sudut pandang terkait proyeksi perluasan pengaruh Syah Iran disejumlah negara-negara terutama Suriah dan Yaman.
Penulis: Sony Iriawan pemerhati studi Keamanan internasonal dan Geopolitik Kawasan