Jakarta, Teritorial.Com – Menyikapi persoalan isu yang belakangan ini beredar soal pernyataan kontroversial Presiden RI Joko Widodo yang dianggap sangat bersinggungan dengan marwah TNI-Polri yang seharusnya netral dari berbagai bentuk pengaruh dan intervensi politik. Ironiny mendekati perhelatan akbar pesta demokrasi yang sebentar lagi akan terlaksana di tahun 2019, pemerintah belakangan ini justru seringkali gamang bersikap dalam urusan yang berkaitan dengan TNI dan Polri.
Hal tersebut justru terjadi disaat semangat netralitas dan sinerjitas TNI-Polri dalam mensukseskan jalannya Pemilu dan Pilpres 2019. Sebelumnya Presiden Jokowi mengatakan bahwa TNI-Polri turut serta dalam menyampaikan sosialisasi kesuksesan pemerintah. Hal tersebut tentunya menjadi polemik tersendiri lantaran presiden Jokowi nantinya juga akan menjadi kandidat petahana yang akan kembali mencalonkan diri dalam Pilpres 2019.
Bedasarkan Undang-Undang No. 34/2004 tentang TNI, bahwa aktivitas yang dimaksud oleh Presiden RI tersebut tidak termasuk dalam tugas yang diatur oleh UU No. 34/2004 tentang TNI. Begitu juga dalam tugas dan fungsi yang diatur UU No. 2/2002 tentang Polri. Kedua UU ini memang nafasnya sangat membatasi ruang gerak TNI/Polri pada hal-hal yang bukan merupakan tugas pokoknya. Meski sudah tercantum di UU sekalipun, TNI tak bisa ‘ujug-ujug’ menggelar Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Harus ada kebijakan dan keputusan politik negara sebagai alas operasionalnya. Polri apalagi, tak ada sama sekali ruang untuk bisa melakukannya.
Dalam pandangan tersebut seharusnya pemeirntah menyadari bahwa netralitas TNI-Polri harus benar-benar terlepas dari konteks politik praktis, apalagi dianggap seabtas komuditas politik untuk tujuan pencitraan pemerintah semata. Dari sinilah pentingnya kata netralitas TNI-Polri yang sejatinya untuk memastikan tak ada upaya-upaya yang bersifat merongrong kedaulatan negara,sekalipun besar kemungkinan dugaan tersebut sengaja dimainkan oleh aktor-aktor tertentu yang duduk dalam kekuasaan untuk tujuan kepentingan politis semata.
Begitu juga Polri, harus menunjukkan dirinya berjarak dari kepentingan maupun aktivitas politik selain terkait tugasnya, yaitu melakukan upaya pengamanan dan memastikan tak ada perbuatan melawan hukum dalam hal itu. Masalahnya, sulit bagi publik untuk memandang objektif peran TNI-Polri ini. Sulit bagi TNI-Polri untuk secara fair berjarak dengan penguasa. Sulit bagi penguasa untuk tak tertarik melibatkan TNI-Polri dalam ‘mengamankan’ kepentingannya.
Dalam beberapa isu OMSP, memang tak ada aturan yang secara tegas melarang maupun membolehkannya. Dulu mungkin tak masalah, karena TNI-Polri sendiri juga masih sangat berhati-hati dalam menyikapi situasi politik. Tapi saat ini tersedianya dukungan politik yang luas membuat rezim dan TNI-Polri lebih berani menafsir peran-peran yang bisa dilakukan. Dalam hal ini sekilas tampak bahwa ada kecenderungan pemanfaatan yang dilakukan oleh rezim terhadap masing-masing lembaga ini, terkait pelibatan mereka dalam hal-hal yang mestinya bukan tugas pokok.
Jadi, kita mestinya bukan mempertanyakan netralitas TNI-Polri. Tapi justru mempertanyakan motif pelibatan mereka dan kekuatan politik dibalik itu semua yang mampu menggiring dan mengarahkan institusi TNI-Polri menjadi lebih dekat dengan pemerintah yang berkuasa. Sebelumnya Selain ada instruksi praesiden Joko Widodo (Jokowi) agar TNI-Polri terlibat dalam sosialisasi program pemerintah, sebelumnya Jokowi juga mengundan Perwira Siswa Sekolah Staf dan Komando Tentara Nasional Indonesia (Sesko TNI) dan Peserta Sekolah Staf dan Pimpinan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Sespimti Polri) Tahun 2018, bertempat di Istana Negara, Jakarta, (23/08/18).
Dalam pernyataannya yang dianggap kontroversial oleh sejumlah pihak, Jokowi menitipkan stabilitas keamanan, politik dalam melakukan pembangunan di negara Selain itu Jokowi mengatakan, investasi sangat penting bagi pembangunan sebuah negara. Namun, investasi itu akan masuk ke sebuah negara jika stabilitas politik dan keamanannya terjaga. “Investasi itu berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi negara kita. Investasi itu juga berkaitan dengan pembukaan lapanagan kerja yang dibutuhkn rakyat. Jangan sampai justru ada yang investasi di daerah, ada yang mnganggu, kita diam. Nah ini keliru besar, karena sekali lagi, investasi itulah yang akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan akan mmbuka lapangan kerja yang sangat dibutuhkan oleh rakyat,” jelas Jokowi dikutip dalam pernyataannya.
Dalam Menanggapi hal tersebut ada beberapa Pernyataan dari Sekjen PAN Eddy Soeparno dan Wakil Ketua DPR F-Gerindra Fadli Zon bahwa TNI-Polri tidak ikut serta dalam Arus Politik . Menurut Eddy Soeparno , bahwa dalam Institusi TNI- Polri hatus tetap bersifat netral terhadap masyarakat. ia mengatakan bahwa TNI-Polri tidak dapat ikut serta dalam arus politik mana pun. TNI-Polri sebagai institusi yang solid dan mengakar di masyarakat tentu sudah sangat arif dan bijak untuk mengetahui posisinya di depan masyarakat bahwa mereka harus berdiri tegak, independen, dan tidak ikut serta dalam arus politik manapun Ujar Sekjen PAN Eddy Soeparno kepada wartawan di kantor DPP PAN, Jalan Senopati, Jakarta Selatan, Kamis (23/8/2018).caya pada TNI-Polri, yang tidak akan terbawa arus politik. “Jadi saya percaya penuh kepada pimpinan TNI-Polri tetap jaga keutuhan indepedensinya,” imbuhnya.
Disamping itu baru-baru ini tepatnya Minggu tanggal 26 Agustus 2018, aparat Kepolisian beserta sejumlah Ormas berkumpul di Surabaya untuk mencegah aksi damai deklarasi 2019 ganti presiden. Alasan keamanan justru menjadi pertimbangan pihak Kepolisian setempat untuk tida mengeluarkan surat ijin terhadap acara tersebut. Atas aksi penolakan tersebut hingga berujung pada pembubaran secara paksa, Komisioner KPU, Wahyu Setiawan mengatakan, saat ini sudah masuk ruang demokrasi, sehingga semua pihak bisa menerima setiap perbedaan politik yang berkembang. Ia menilai, gerakan ganti presiden dengan Jokowi dua periode sama nilainya.”Hanya saja, ekspresi politik yang memang dilindungi konstitusi kita itu kan juga harus mengikuti prosedur prosedur sebagaimana berlaku,” ujar Wahyu di Kantor KPU, Jakarta, Senin (27/8/2018).
Dalam hal ini, Wahyu mengaku momentum saat ini pihaknya mengajak semua pihak untuk mendewasakan diri secara politik. Namun eskpresi tersebut harus disampaikan secara damai dan wajar. Sebab, ia mengaku tak bisa membendung iklim demokrasi yang berkembang secara pesat. Akan tetapi, semua pihak yang akan menyampaikan pandangan politik, eskpresi politik, sikap sikap politik, juga harus secara dewasa. dan harus mematuhi ketentuan hukum yang berlaku. “Sebagai negara demokrasi, adanya perbedaan pendapat merupakan hal yang wajar selama tetap di ruang batas kewajaran. Namun, yang menarik dalam hal ini adalah gerakan 2019 ganti presiden tidak pernah menyebutkan secara terbuka dukungannya kepada paslon Prabowo-Sandi yang menjadi rival Jokowi kerap mengalami penolakan di lapangan termasuk izin dari kepolisian,” jelas pengamat politik Jajat Nurjaman kepada wartawan, Senin (27/8).
Sebaliknya, jika deklarasi relawan Jokowi yang dihadiri menteri dan Jokowi sendiri selalu berjalan dengan lancar dan tidak pernah menghadapi permasalahan izin.
Dia menilai bahwa Jokowi sengaja menarik TNI dan Polri ke ranah politik praktis sebagai upaya terakhir untuk memperkuat kekuatan politik di tengah isu yang beredar jika partai koalisinya tidak solid akibat penunjukan KH Ma’ruf Amin sebagai calon wapres. “Kedua, ada tindakan dari aparat penegak hukum yang dianggap tidak adil dalam hal melakukan tindakan hukumnya. Salah satunya terkait pemberian izin acara. Hal ini yang menjadi sumber pemicu terjadinya polemik di masyarakat sehingga memunculkan berbagai macam spekulasi.
Berbagai perkembangan dinamika politik yang belakangan ini terjadi seharusnya menjadi catatan tersendiri bagi kedua institusi TNI-Polri agar tetap menjaga netralitasnya di tengah pertarungan politik jelang Pilpres 2019. Adapan soal kedekatan TNI-Polri dengan penguasa atau pemerintah yang saat ini tengah berkuasa harus disikapi dengan matang untuk setidaknya menghindari segala bentuk hal-hal yang justru malah dimanfaatkan oleh penguasa untuk menjadikan TNI-Polri sebagai alat pemerintah berkuasan untuk menekan lawan-lawan politiknya. Lantaran keberadaan kandidat Petahanan dalam Pilpres 2019 tahun ini, maka kecenderungan yang ada akan sangat rentan upaya-upaya untuk menjadikan TNI-Polri sebagai alat pemerintah untuk mendukung tujuan-tujuan politis yang tentunya hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu yang justru mengesampingkan aspek yang seharusnya yakni netralitas TNI-Polri dari kepentingan politik praktis apapun.
Penulis: Sony iriawan Pemerhati Studi Geopolitik dan Keamanan Internasional