Tema ‘’Potensi Pertahanan dan Infiltrasi Budaya Asing melalui Film di Indonesia’’ yang disodorkan ke penulis dalam diskusi Lembaga Sensor Film pada Kamis, 23 Juli 2020, sangat menarik. Mengingat ancaman pertahanan tak hanya bersifat militer, tapi juga nonmiliter.
Bagian dari ancaman nonmiliter itu terkait budaya. Perang budaya ini sangat lembut sehingga pihak yang ditaklukkan tak merasa kalah, malah sering kali justru menikmati. Apalagi, kalau menggunakan media film. Karena sifat dasarnya adalah menghibur.
Karena itu, film sebagai media komunikasi audio visual efektif sebagai “senjata perang” atau alat diplomasi budaya. Sebagai negara adidaya, AS melakukan propaganda untuk menunjukkan kedigdayaan kepada dunia, termasuk lewat industri film Hollywood.
Penguatan jati diri untuk membentengi diri dari infiltrasi budaya asing, semakin mendesak kalau mengacu Indeks Ketahanan Nasional 2019. Dari delapan bidang pendekatan Ketahanan Nasional, unsur sosial-budaya skornya terendah 2,3, kategori kurang tangguh.
Kurang tangguh menandakan, keuletan dan ketangguhan bangsa berada pada posisi lemah. Dalam jangka pendek, negara dapat bertahan dari berbagai tantangan, ancaman, halangan, dan gangguan.
Bila tidak ada perbaikan signifikan, dalam jangka panjang stabilitas nasional akan goyah.
Korean wave
Salah satu negara yang kini gencar mengembangkan kebudayaannya adalah Korea Selatan (Korsel).
Pencapaian fenomenal negara ini adalah prestasi film Parasite yang mencetak sejarah dengan menjadi film Asia pertama, sekaligus film nonbahasa Inggris perdana yang menang film terbaik (‘Best Picture’) dalam ajang Oscar 2020.
Seni, cerita rakyat, adat istiadat, dan gaya hidup masyarakat juga dikemas menjadi industri budaya lewat fenomena hallyu atau Korean wave. Korean wave/tampaknya kelanjutan program pertanian dan industri-perdagangan yang sukses dijalankan Korsel.
Pengaruh produk-produk Korean wave, misalnya K-pop, K-film, K-drama, K-fashion, K-food, dan K-beauty bahkan terasa hingga Tanah Air. Karena itu, kita sering mendengar istilah demam drakor alias drama Korea atau demam K-pop.
Hasil penelitian Sekolah Bisnis Manajemen Institut Teknologi Bandung (2020) menunjukkan, demam Korean wave ini berpengaruh positif terhadap penjualan produk-produk Korsel, seperti skin care, kosmetik, makanan, dan pakaian. Sebab, penyanyi atau aktor yang tampil menjadi duta produk-produk Korsel tersebut.
Perusahaan bioskop asal Korsel, seperti CGV dan Lotte Cinema juga merambah ke negeri ini. Budaya sekarang menjadi salah satu soft power Korsel. Tak heran kalau posisinya terus naik dalam A Global Ranking of Soft Power 2019, hasil kerja sama Portland Communications, Facebook, USC Center on Public Diplomacy. Dalam The Soft Power 30, Korsel di peringkat 19, naik satu peringkat setiap tahun sejak 2016.
Dari daftar 30 negara ini, Asia menyumbang empat negara. Tiga negara lainnya, yaitu Jepang (8), Singapura (21), dan Cina (27). Indonesia tak masuk dalam The Soft Power 30. Kita juga hanya urutan kedua terbawah dalam The Asia Soft Power 10.
Evaluasi diri
Korean wave diungkap, selain karena sebagai salah satu “ancaman aktual” dalam perang budaya, juga untuk mengevaluasi diri. Kita ternyata sudah terlalu jauh tertinggal dari negara tersebut dalam banyak bidang.
Padahal, seperti dijelaskan Arief Budiman dalam Negara dan Pembangunan: Studi tentang Indonesia dan Korea Selatan (1991), kedua negara memiliki banyak persamaan bahkan pernah berada pada titik yang sama. Yaitu, kondisi perekonomian usai Perang Dunia II relatif sama; pernah mengalami perang saudara; pernah menerapkan sistem parlementer; pemerintahan pernah didominasi militer; juga pernah dipimpin kekuasaan otoriter dan pernah dijajah Jepang.
Meski demikian, harus kita akui, Korsel lebih maju dibandingkan Indonesia. Walau memang, ada banyak perbedaan lainnya di antara kedua negara.
Namun, tentu kita kurang terima kalau salah satu perbedaan yang dimaksud, Indonesia dikategorikan soft state, sementara Korsel hard state seperti disebut Gunnar Myrdal dalam Asian Drama: An Inquiry into The Poverty of Nations (1968).
Soft state bercirikan budaya lemah, inkonsisten, kurang disiplin, ketidakpercayaan sosial, kurang memanfaatkan waktu, dan kurang taat hukum. Hard state sebaliknya. Terlepas dari itu, penguatan jati diri, karakter, dan kebudayaan mutlak dilakukan.
Terlebih, Indonesia punya kelebihan kekayaan, keanekaragaman budaya, dan keindahan alam. Film-film kita harus mengacu ke situ. Apalagi, kalau merujuk UU Perfilman, budaya ditempatkan nomor satu sebagai fungsi perfilman.
Baru berikutnya pendidikan, hiburan, informasi, pendorong karya kreatif. Sementara ekonomi di urutan terakhir. Karena itu, kita mengapresiasi para sineas idealis yang berkarya tidak semata-mata bermotif ekonomi.
Berkaca dari pengalaman banyak negara. Keberpihakan negara memang mutlak diperlukan untuk menghasilkan film-film dan bahan-bahan tontonan berkualitas lainnya, yang bisa ikut serta membangun kebudayaan dan kebanggaan sebagai bangsa.
DAHNIL ANZAR SIMANJUNTAK, Peneliti Senior Institute Kajian Strategis UKRI