Jakarta, Teritorial.Com – Pada HUT ke-73 RI, kita coba melihat kilas balik perjalanan demokrasi. Sebelum kemunculan era Reformasi pada 1999, ada tiga sistem demokrasi yang diterapkan: Demokrasi Liberal, Demokrasi Terpimpin, dan Demokrasi Pancasila.
Demokrasi Liberal (1950-1959) sering dipersalahkan sebagai sumber konflik politik yang mengakibatkan ketidakstabilan pemerintahan. Bukti yang dapat ditunjuk antara lain adalah jatuh bangunnya kabinet dalam waktu singkat dan gagalnya Majelis Konstituante menyusun UUD baru sebagai tindak lanjut hasil Pemilu 1955. Presiden Soekarno lantas menerapkan Demokrasi Terpimpin (1959-1966). Dalam bukunya Di Bawah Bendera Revolusi (jilid II), Soekarno mendefinisikan Demokrasi Terpimpin sebagai demokrasi kekeluargaan yang dilaksanakan tanpa anarki liberalisme dan tanpa kediktatoran autokrasi.
Menurut Soekarno, demokrasi kekeluargaan adalah demokrasi yang mendasarkan sistem pemerintahannya pada prinsip musyawarah untuk mencapai mufakat yang dipimpin oleh satu kekuasaan sentral di tangan seseorang lebih tua yang dihormati, yang bisa membimbing dan mengayomi rakyat. Dalam praktiknya, terdapat jurang pemisah antara idealitas dan realitas dalam pelaksanaan Demokrasi Terpimpin. Unsur komando kepemimpinan (kekuasaan) jauh lebih dominan daripada unsur demokrasi.
Menurut Sutan Takdir Alisjahbana (1908-1994), Soekarno dengan sistem Demokrasi Terpimpin dan proyek Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis) menjadi pemegang kekuasaan yang hampir tak terbatas. Sutan Takdir menyebut hal ini dalam bukunya Indonesia: Social and Cultural Revolution : “Posisi Soekarno sebagai presiden dan pemimpin besar Revolusi Indonesia, yang memegang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, adalah sedikit berbeda dari posisi raja-raja absolut pada masa lalu, yang mengklaim sebagai inkarnasi Tuhan atau wakil Tuhan di dunia.”
Mohammad Hatta (wapres RI 1945-1956) dalam bukunya Menuju Negara Hukum mengkritik bahwa Demokrasi Terpimpin Soekarno bertentangan dengan jiwa dan semangat Pancasila yang merupakan gagasannya sendiri. Dalam buku Demokrasi Kita, Hatta mengatakan bahwa nilai-nilai sejati demokrasi boleh jadi ditindas untuk sementara di bawah
Demokrasi Terpimpin, tetapi nilai-nilai itu tetap hidup dan akan muncul lagi ke permukaan. Berbeda pandangan politik dengan Soekarno, Hatta mengundurkan diri sebagai wapres pada 1956. Era pemerintahan Soekarno selama 21 tahun, hanya ada satu kali pemilu (1955). Partai Sosialis Indonesia dan Masyumi dibubarkan karena dinyatakan terlibat dalam pemberontakan PRRI/Permesta, dan tokoh Masyumi seperti Mohamad Natsir, Mohamad Roem, dan Burhanuddin Harahap dipenjara tanpa proses pengadilan.
Mereka baru dibebaskan pada masa awal Orde Baru. Harian Abadi dan majalah Pandji Masyarakat pimpinan Hamka diberangus dan Hamka sendiri dimasukkan ke dalam bui. Pada 1966, Demokrasi Terpimpin runtuh bersamaan dengan tumbangnya rezim Orde Lama (Orla).
Rezim Orde Baru (Orba) naik ke pentas politik nasional. Orba menolak Demokrasi Terpimpin ala Soekarno dan menerapkan sistem Demokrasi Pancasila (1967-1998). Presiden Soeharto dalam bukunya, Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, menyatakan Demokrasi Pancasila tidak ditempuh melalui cara-cara kekuatan, tetapi melalui proses musyawarah-mufakat sebagai sistem yang bersumber dari prinsip hikmat kebijaksanaan.
Soeharto berdalil, Demokrasi Pancasila menolak kediktatoran, baik itu kediktatoran perorangan, kediktatoran golongan, kediktatoran kelas, maupun kediktatoran militer. Inti Demokrasi Pancasila, kata Soeharto, adalah musyawarah untuk mencapai mufakat yang didasarkan pada prinsip hikmat kebijaksanaan sebagaimana diajarkan oleh Pancasila itu sendiri.
Rezim Orba merestrukturisasi politik yang menghasilkan tiga kekuatan politik: PPP, PDI, dan Golkar (mesin politik Orba). Di bawah Demokrasi Pancasila, posisi DPR hanya menjadi “stempel” kemauan politik rezim. Fenomena ini bisa dilihat, misalnya, pencalonan anggota DPR harus melalui screening ketat yang kriterianya ditetapkan sendiri oleh pemerintah.
Screening itu dipakai oleh pemerintah untuk memblokade calon wakil rakyat yang tidak mempunyai potongan yes-men terhadap kemauan politik pemerintah. Benar, di era Demokrasi Pancasila sudah ada pemilu lima tahunan, tapi itu hanya bersifat ritual politik untuk tetap melanggengkan kekuasaan rezim. PPP dan PDI hanya menjadi kosmetika demokrasi, tapi tetap dibonsai dan selalu menjadi pecundang.
Rezim Orba menjadi eksekutor pemilu dan pelaksanaannya dinilai kurang fair, hanya menguntungkan Golkar sebagai the ruling party. Partai oposisi tidak dibenarkan. Untuk membonsai parpol, terutama PPP, rezim Orba memberlakukan politik floating mass yang mengakibatkan perolehan suara PPP dalam pemilu menurun drastis di kalangan masyarakat pedesaan dan pesantren.
Gubernur dan bupati diangkat langsung oleh Presiden, dan Presiden atas nama doktrin Dwifungsi ABRI mengangkat tentara menjadi gubernur dan bupati. ABRI mempunyai keterwakilan di DPR/ MPR (Fraksi ABRI) yang tidak lain merupakan kepanjangan tangan rezim. Rezim Orba juga menerapkan politik monoloyalitas, yang dengan politik itu semua PNS dan karyawan menjadi anggota Golkar.
Semua PNS dan karyawan secara beramai-ramai sehabis apel bendera 17 Agustus diskenariokan membacakan pernyataan politik untuk tetap mendukung presiden yang sudah berpengalaman dalam pemilu mendatang. Presiden yang berpengalaman hanya satu orang, tentunya calonnya ya itu-itu juga.
Tokoh vokal-kritis seperti Mahbub Djunaidi dan AM Fatwa dibui karena menyuarakan pandangan politik yang berbeda dengan penguasa. Di era Demokrasi Pancasila, beberapa surat kabar dan majalah seperti Abadi, Kompas, Sinar Harapan, dan Tempo diberangus. Tiga media cetak yang disebut terakhir akhirnya dapat terbit kembali. Setelah berkuasa selama 32 tahun (1966-1998), rezim Orba tumbang.
Menyusul kemunculan era Reformasi pada 1999, sosok dan wajah demokrasi tampak cerah. Demokrasi mengalami transformasi signifikan dan menuju jalan yang baik dan benar. Presiden-wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu sehingga mempunyai legitimasi kekuasaan yang sangat kuat.
Kekuasaan presiden-wakil presiden dibatasi hanya dua periode. Parpol tidak didikte dan parpol yang memosisikan sebagai oposisi dibiarkan. Sudah ada KPU dan KPUD yang netral dalam pelaksanaan pilkada, pileg, dan pilpres. Pilkada serentak sudah diselenggarakan pada 2018, sementara pilpres dan pileg serentak akan dilaksanakan pada 2019.
Kebebasan pers dan kebebasan berpendapat dihormati. Demokrasi memang memerlukan proses pembelajaran yang panjang. Kita berharap ke depan demokrasi di negeri ini semakin lebih baik sesuai amanat Pancasila dan semangat UUD 1945.
Penulis: Faisal Ismail Guru Besar Pascasarjana Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta