Wellness

Quiet Quitting: Ketika Karyawan Berontak Dia-diam Melawan Lingkungan Kerja Toxic

Quiet Quitting: Ketika Karyawan Berontak Dia-diam Melawan Lingkungan Kerja yang Toxic

Jakarta, Teritorial.com – Istilah “quiet quitting” telah menjadi perbincangan hangat, bukan sekadar tren sesaat, melainkan sebuah refleksi nyata dari krisis dalam budaya kerja, terutama di kalangan generasi muda. 

Fenomena ini bukanlah tentang karyawan yang malas atau tidak loyal, melainkan sebuah bentuk perlawanan pasif terhadap lingkungan kerja yang dirasa toksik dan eksploitatif.

Awalnya populer di TikTok, “quiet quitting” menggambarkan kondisi di mana karyawan hanya melakukan pekerjaan sesuai deskripsi tugas mereka, tanpa mengambil inisiatif lebih atau bekerja di luar jam yang ditentukan. 

Ini adalah cara bagi mereka untuk menjaga keseimbangan hidup dan kerja (work-life balance) serta kesehatan mental, yang seringkali terabaikan dalam budaya “hustle culture” yang menuntut karyawan untuk terus-menerus memberikan lebih dari yang seharusnya.

Akar Masalah: Lingkungan Kerja yang Tidak Mendukung

Biasanya, quiet quitting muncul sebagai respons terhadap beberapa kondisi lingkungan kerja yang tidak sehat:

  • Beban Kerja Berlebih Tanpa Apresiasi:Banyak karyawan merasa tugas yang diberikan tidak seimbang dengan kompensasi atau pengakuan yang mereka terima. Mereka melakukan pekerjaan ekstra, namun tidak ada penghargaan yang setimpal.
  • Kurangnya Dukungan Psikologis: Organisasi seringkali gagal memberikan dukungan psikologis yang memadai, baik dalam bentuk pengembangan karier maupun pengakuan atas upaya karyawan. Hal ini dapat memicu stres, kecemasan, dan burnout.
  • Komunikasi dan Sistem Manajemen yang Buruk:Kurangnya komunikasi dua arah antara atasan dan bawahan, serta sistem manajemen yang tidak efektif, menciptakan jarak antara karyawan dan perusahaan.
  • Budaya “Hustle” yang Menjebak: Budaya kerja yang memuja kerja berlebihan seringkali mengabaikan batasan pribadi dan waktu istirahat karyawan, membuat mereka merasa terjebak dan tertekan.
  • Ketidakjelasan Batasan Peran: Ketika karyawan selalu diharapkan untuk mengambil tugas di luar tanggung jawab mereka tanpa kompensasi, mereka mulai merasa dimanfaatkan.

Generasi Z dan Milenial: Pelopor Perubahan

Generasi Z dan sebagian besar milenial, yang tumbuh di era di mana informasi mudah diakses dan kesadaran akan kesehatan mental meningkat, menjadi garda terdepan dalam fenomena quiet quitting. 

Mereka tidak lagi bersedia mengorbankan kesejahteraan pribadi demi pekerjaan. 

Mereka lebih memprioritaskan kualitas hidup dan mencari lingkungan yang mendukung pertumbuhan diri secara holistik.

Menurut para ahli, quiet quitting adalah sinyal kuat bahwa ada yang perlu dibenahi dalam sistem dan budaya organisasi. 

Perusahaan tidak bisa terus-menerus menyalahkan karyawan atau menganggap mereka malas. Sebaliknya, ini adalah panggilan untuk berbenah dan menciptakan lingkungan kerja yang sehat secara emosional dan mendukung.

Dampak dan Solusi

Fenomena quiet quitting memang dapat berdampak pada produktivitas dan inovasi perusahaan. 

Namun, solusi tidak terletak pada penekanan yang lebih besar, melainkan pada pembenahan fundamental:

  • Menciptakan Budaya Kerja yang Suportif: Membangun lingkungan di mana karyawan merasa dihargai, didengar, dan memiliki ruang untuk berkembang.
  • Meningkatkan Komunikasi Terbuka: Mendorong dialog dua arah antara manajemen dan karyawan untuk memahami keluhan dan ekspektasi.
  • Menghargai Keseimbangan Hidup dan Kerja: Menerapkan kebijakan yang mendukung fleksibilitas dan memastikan karyawan memiliki waktu yang cukup untuk beristirahat dan menjalani kehidupan pribadi.
  • Memberikan Apresiasi yang Adil: Mengakui dan memberikan kompensasi yang sesuai untuk setiap usaha ekstra yang dilakukan karyawan.

Quiet quitting, pada dasarnya, adalah sebuah “pemberontakan” senyap yang menyuarakan kebutuhan dasar karyawan akan lingkungan kerja yang adil, sehat, dan menghargai nilai diri mereka. 

Ini bukan akhir dari dedikasi, melainkan awal dari tuntutan akan budaya kerja yang lebih manusiawi.

(*)

Dinda Tiara

About Author

You may also like

Wellness

5 Posisi Tidur yang Bisa Bikin Asam Lambung Naik, Hindari!

Jakarta, teritorial.com – Asam lambung naik atau gastroesophageal reflux disease (GERD) bisa mengganggu kualitas tidur. Rasa perih di dada, sensasi terbakar di
Wellness

Menkes Budi Sebut Laki-laki dengan Ukuran Celana 33 Lebih Cepat Menghadap Allah

TERITORIAL.COM, Jakarta – Menteri Kesehatan Budi Gunadi sadikin memberi peringatan kepada masyarakat untuk memperhatikan beberapa indikator kesehatan agar terhindar dari