Lombok, Teritorial. Com– Gempa dengan kekuatan 7,0 SR di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) merenggut nyawa ratusan orang. Gempa yang berada di sekitar 27 kilometer timur laut Lombok Utara tersebut melululantahkan hampir seluruh bangunan di Lombok Utara. Tidak terkecuali Gili Trawangan, sebuah pulau yang menjadi ikon wisata NTB.
Minggu malam, 5 Agustus 2018 tidak akan terlupa dalam benak Mulyadi. Mantan anggota TNI ini saat itu tengah beranjak dari tempat kerjanya menuju rumah yang jaraknya sekitar 600 meter. Dia saat itu tengah mengerjakan proyek pembangunan hotel. Sekitar pukul 20.00 Wita, dia memiliki firasat buruk. Mulyadi yang biasanya pulang pukul 22. 00 Wita
“Biasanya saya enggak pulang secepat itu. Biasanya saya pulang jam 10, mungkin karena akan ada kejadian itu saya pulang,” ujarnya, Selasa, (11/9/2018).
Dia menggunakan motor listrik menyusuri gang bertembok tinggi. Saat jarak menuju rumahnya sekitar 200 meter lagi, tiba-tiba angin bertiup kencang. Disusul suara bangunan yang bergerak diobrak-abrik gempa.
“Begitu saya masuk di lorong rumah lagi 200 meter, datang angin. Kemudian seperti suara tronton lewat, listrik mati, langsung bumi ini digoncang. Bumi digoncang seperti naik turun,” ungkapnya menceritakan kejadian nahas tersebut.
“Tembok-tembok mulai berjatuhan. Mulyadi berusaha menyalip setiap reruntuhan tembok yang menghalau jalannya. “Terlambat dua detik saja, saya sudah tidak bisa ke mana-mana lagi,” ucap dia.
Dia bergegas memacu sepeda motornya menuju rumah. Begitu tiba di rumah, yang tersisa hanya pandangan kehancuran. Rumahnya telah rusak parah akibat gempa.
“Saya lihat orang-orang yang lari, kemudian jatuh, dia bangun kemudian jatuh lagi, karena keras guncangan. Sampai di rumah tembok sudah roboh, saya masuk di kamar, di kios, di dapur enggak ada siapa-siapa. Cuma yang saya dengar anak yang besar itu berteriak, ‘Tolong ayah, tolong.’ Suara itu seperti jauh, karena dia di dalam tembok itu sudah terjepit,” ungkapnya.
Mulyadi berusaha mencari cara mengeluarkan anak sulungnya dari runtuhan tembok yang sangat berat. Orang-orang berlarian menuju bukit menginjak tembok tempat terkuburnya keluarga Mulyadi.
“Kemudian turis datang lari dia injak lewat tembok itu larinya. Saya setop pertama, saya ditabrak, saya jatuh, saya bangun lagi, saya setop. Saya cerita di sini ada anak istri saya,” kata dia.
Suasana tampak sepi. Semua penduduk lokal telah mengungsi di atas gunung karena gempa tersebut berpotensi tsunami. Mulyadi dan beberapa turis membantu mengangkat tembok yang menjepit keluarganya.
Putra sulungnya berhasil diselamatkan. Namun sayang, istri dan dua anaknya masih berada dalam reruntuhan.
Dia dan para turis terus mengangkat reruntuhan tembok tersebut dengan kondisi listrik yang padam. Anak keduanya berhasil diangkat dengan kondisi koma. “Putri kedua saya sudah sekarat. Napasnya saat itu seperti suara ayam,” katanya.
Terakhir yang berhasil dievakuasi istri dan putra bungsunya. Mereka ditemukan dalam posisi berpelukan tak bernyawa. Guncangan gempa susulan kembali dirasakan. Seluruh Gili Trawangan bergetar hebat. Para turis pergi lari ke atas bukit menyelamatkan diri.
Mulyadi mengambil tiga gerobak untuk meletakkan istri dan kedua anaknya. Dia membawa keluarganya menjauh ke arah lapangan.
“Saya disuruh warga naik ke gunung. Bagaimana saya bisa naik ke gunung kalau di bawah sini ada tiga gerobak. Mayat istri dan anak saya, sama anak saya yang koma,” tuturnya.
Dia kemudian hanya bisa pasrah. Meskipun tsunami menghantam, dia tetap menemani anaknya yang sekarat dan dua mayat anak-istrinya. Beruntung saat itu tidak terjadi tsunami. Namun, dia tidak bisa mengevakuasi anaknya keluar dari pulau menuju rumah sakit. Saat itu tidak ada satu pun kapal yang berani menuju Trawangan.
“Tidak ada kapal satu pun yang berani masuk saat itu. Jam 9 pagi saya dapat kapal, saya selamatkan yang masih hidup. Saya tinggalkan dua mayat itu. Saya bawa ke Biomedika Mataram. Sampai di rumah sakit saya hanya taruh anak saya, saya tidak bisa ngomong lagi,” ungkapnya.
Beruntung rumah sakit berhasil menyelamatkan nyawa anaknya. Namun istrinya, Isharianti dan anak bungsunya yang baru berumur tujuh tahun meninggal dunia. Dia pun balik ke Trawangan dan menguburkan kedua orang yang sangat dicintainya.