Jakarta, Teritorial.Com – Proses akuisisi 51% saham PT Freeport Indonesia (PTFI), yang saat ini mengelola tambang dengan deposit emas terbesar di dunia, adalah sebuah proses yang rumit dan panjang. Setiap tahapan seperti penandatangan head of agreement (HOA) dan sales and purchase agreement (SPA) adalah tahapan penting yang harus dilalui sebelum pembayaran dilakukan dan proses divestasi dinyatakan selesai sepenuhnya.
Banyak kabar sesat berbungkus analisis yang berkembang disekitar permasalahan divestasi ini, antara lain 3 hal utama berikut:
1. Divestasi Saham Freeport adalah sebuah pembohongan
Dalam rapat dengar pendapat antara Komisi 7 DPR dengan Dirjen Mineral dan Batubara di Kementerian ESDM, Holding Industri Pertambangan Inalum dan PT Freeport Indonesia pada tanggal 17 Oktober yang lalu, beberapa anggota Komisi menuding seolah-olah telah terjadi pembohongan karena para pejabat tinggi mengklaim proses divestasi sudah selesai dan Freeport sudah sah milik Indonesia.
Ini faktanya: Sejak penandatangan HoA dan SPA di tanggal 18 Juli dan dan 27 September lalu, di siaran pers bersama Dalam siaran pers bersama yang dikeluarkan oleh Kementerian ESDM, Kementerian BUMN, Kementerian Keuangan dan Kementerian KLHK sudah dijelaskan bahwa proses divestasi ini akan selesai di akhir tahun.
Berikut kutipan siaran pers tersebut: “Perubahan kepemilikan saham ini akan resmi terjadi setelah transaksi pembayaran sebesar US$ 3,85 miliar atau setara dengan Rp 56 triliun kepada FCX diselesaikan sebelum akhir tahun 2018.”
2. Ada kerugian negara atau denda sebesar Rp 185 triliun yang harus dibayarkan terkait isu lingkungan Freeport
Berdasarkan dokumen pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), angka Rp 185 triliun tersebut bukan merupakan kerugian atau pun denda yang harus dibayarkan PT Freeport Indonesia.
Angka itu juga bukan merupakan temuan dan tidak dicantumkan dalam kesimpulan pemeriksaan BPK yang harus ditindaklanjuti.
Angka tersebut merupakan salah satu komponen alasan dilakukannya pemeriksaan oleh BPK dan secara teknis angka tersebut disebut sebagai “jasa ekosistem yang hilang”. Berikut kutipan dokumen BPK tersebut:
“Hasil perhitungan jasa ekosistem oleh Institut Pertanian Bogor (IPB) yang hilang akibat tailing PTFI berdasarkan analisis perubahan tutupan lahan tahun 1988-1990 dan 2015- 2016 oleh LAPAN menunjukan nilai jasa ekosistem sebesar Rp 185,018 triliun.”
Perhitungan ini masih perlu didiskusikan lagi dengan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup apakah sesuai dengan ketentuan yang ada.”
3. Kenapa tidak menunggu hingga 2021? Bisa dapat Freeport gratis
Kontrak Karya (KK) Freeport akan berahir pada 2021 dan secara otomatis wilayah tambang emas di Papua tersebut akan dikembalikan kepada Indonesia secara gratis. Tapi, apakah benar begitu?
Itu merupakan anggapan yang sesat. Memang benar, KK Freeport akan berakhir di 2021. Namun ada ketentuan di dalam KK yang menyatakan Freeport berhak memohon dua kali perpanjangan masing-masing 10 tahun secara berturut-turut dan Pemerintah tidak akan menahan atau menunda persetujuan (perpanjangan) itu secara tidak wajar. Perbedaan interpretasi Freeport dan pemerintah dapat berujung pada penyelesaian di pengadilan internasional (arbitrase).
Peluang Pemerintah Indonesia untuk memenangkan arbitrase tak terjamin 100 persen. Jika kalah dalam arbitrase, pemerintah tak hanya diwajibkan membayar ganti rugi senilai miliaran dolar AS ke Freeport McMoRan. Lebih dari itu, seluruh aset pemerintah di luar negeri dapat disita jika pemerintah tidak membayar ganti rugi tersebut.
Sekalipun Indonesia diasumsikan menang dalam arbitrase, berdasarkan ketentuan KK, Indonesia sesungguhnya juga tidak akan memperoleh tambang emas di Papua tersebut secara gratis. Pemerintah Indonesia tetap harus membeli aset PT Freeport Indonesia (PTFI) minimal sebesar nilai buku berdasarkan laporan keuangan audited yang diestimasi sekitar 6 miliar dolar AS