Bali, Teritorial.Com – Tidak hanya masalah TKA China yang bekerja secara ilegal di sejumlah daerah di Indonesia yang menjadi polemik, kini keberadaan Turis China di Bali dalah jumlah yang cukup besar juga mulai dipertanyakan. Hal tersebut terkait dengan ekspektasi pemerintah soal penambahan devisa negara dengan semakin banyaknya kunjungan turis ke Indonesia terutama Bali.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Arief Poyuono menyebutkan turis China di Bali jumlahnya sangat banyak tetapi paling sedikit belanjanya sehingga pemasukan devisa negara pun hanya sedikit dibandingkan dengan devisa yang didapat dari turis-turis negara lainnya. “Turis China di Bali terbanyak jumlahnya, tapi paling sedikit belanjanya sehingga pemasukan devisa negara pun hanya sedikit saja dibandingkan devisa yang didapat dari turis-turis negara lainnya,” kata Arief, Jakarta, Jumat (23/11/2018).
Dia membeberkan, perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Bali mencatat ada peningkatan signifikan jumlah turis China ke Bali dalam beberapa tahun terakhir. Tepatnya selama periode 2015-2017. “Rata-rata pertumbuhan kunjungan turis China ke berbagai negara di seluruh dunia (global) mencapai 13,30 persen,” ungkapnya. Namun, kata dia, rata-rata pertumbuhan kedatangan turis China ke Indonesia, termasuk Bali, lebih tinggi dibanding rata-rata global itu. Yakni mencapai 28,50 persen. “Rata-rata pengeluaran wisatawan China masih lebih rendah dibanding wisatawan negara-negara lain,” ucap Arief.
Perlu diketahui bahwa di Bali, rata-rata pengeluaran wisatawan China sebesar Rp 9,66 juta, lebih rendah dibanding rata-rata pengeluaran wisatawan Australia, Eropa dan Jepang,” tambah dia. Hasil survei Kantor Perwakilan BI Bali pada 2018 menunjukkan, lanjut Arief, tingkat pengeluaran turis China di Bali ternyata yang paling rendah dibandingkan turis dari Jepang, AS, dan Eropa. Pengeluaran turis China di Indonesia rata-rata hanya sebesar 965 dolar AS (sekitar Rp 9,66 juta) per orang untuk sekali kunjungan.
Angka tersebut tentunya jauh lebih rendah jika dibandingkan pengeluaran turis China di Thailand yang sebesar 2.026 dolar AS per orang untuk sekali kunjungan pada 2017. Arief membeberkan 5 penyebab. Pertama, ada praktik mafia di Direktorat Imigrasi yang membiarkan para warga negara China yang masuk sebagai wisatawan mengunakan visa kunjungan turis tapi mereka overstay dan melakukan kegiatan bisnis dan perdagangan. “Ada yang jadi pekerja ilegal di toko-toko tempat belanja turis asal China, di mana toko-toko tersebut dimiliki juga oleh warga negara China yang masuk dengan mengunakan visa turis,” ungkapnya.
Kedua, took-toko tempat belanja turis-turis asal China juga hanya berjualan produk-produk bermotif produk Indonesia asli yang dibuat di China seperti pakaian batik dan lain-lain. Ketiga, para turis asal China diharuskan belanja di took-toko milik warga negara China oleh Pemerintah China karena para turis China mendapatkan subsidi berupa tiket pesawat yang sangat murah ke Indonesia, misalnya Bali.
Keempat, para turis China yang berbelanja di toko-toko tersebut dalam transaksinya menggunakan sistim pembayaran QR Payment, cara bayar kekinian ‘Newbie’, yaitu sistem pembayaran dengan teknologi QR Code (Quick Response Code) atau QR Payment. “Fasilitas layanan QR Code yang disediakan bank-bank di China dalam melakukan pembayaran dengan pemindaian kode barcode yang ada di kasir-kasir toko-toko milik warga negara China di Bali atau tempat lain,” katanya.
Sehingga, lanjut dia, hasil dari transaksi jual beli yang dilakukan turis China dan toko China langsung masuk ke account bank bank di negara mereka. “Jadi tidak ada devisa negara yang didapat oleh Indonesia,” terangnya. Kelima, tambah Arief, ini bentuk kegagalan pemerintahan Joko Widodo dalam memaksimalkan pemasukan devisa negara dari wisatawan China. “Solusinya, ganti presiden 2019,” singkatnya.