Mojokerto, Teritorial.Com – Ratusan warga berunjuk rasa di depan PT Putra Restu Ibu Abadi (PRIA) Mojokerto. Massa dari Desa Lakardowo, Kecamatan Jetis, menuntut perusahaan pengolahan limbah membongkar pabrik yang disinyalir menjadi tempat menimbun ribuan ton limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Aksi unjuk rasa ini diawali dengan long march dari lapangan Dusun Kedung Palang menuju ke PT PRIA di dusun yang sama.
Sembari membentangkan spanduk dan poster berisi tuntutan, massa yang didominasi ibu rumah tangga ini berorasi di depan pabrik pengolahan limbah B3 tersebut. Selain berorasi, massa juga sempat membacakan puisi dan menggelar aksi teaterikal. Tak sedikit dari ibu-ibu peserta demo tak mampu menahan air mata. Puluhan polisi menjaga unjuk rasa warga ini. Koordinator aksi warga Heru Siswoyo mengatakan, dalam unjuk rasa kali ini warga menuntut agar timbunan limbah di bawah lantai gudang PT PRIA segera diangkat (clean up).
Selain itu, dia menyebut terdapat 49 titik timbunan limbah jenis fly ash dan bottom ash di bawah rumah-rumah warga Desa Lakardowo yang juga harus diangkat. “Utamanya timbunan di bawah lantai gudang PT PRIA. Karena ada ribuan ton limbah B3 yang ditanam di bawah perusahaan ini,” kata Heru kepada wartawan di lokasi unjuk rasa, Rabu (20/2/2019).
Heru menjelaskan, praktik penimbunan limbah di lahan yang kini berdiri pabrik PT PRIA terjadi sejak tahun 2010. Dia mengaku menyaksikan langsung dumping limbah B3 tersebut. Karena sejak 2010 hingga 2015, dirinya menjadi karyawan PT PRIA.
Menurut dia, terdapat 61 jenis limbah B3 yang saat itu ditimbun di bawah gudang PT PRIA di Dusun Kedung Palang, Desa Lakardowo. Antara lain jenis limbah medis, fly ash, bottom ash, limbah pabrik kertas, limbah cair, serta produk-produk kedaluwarsa. Padahal, pabrik pengolahan limbah B3 itu baru mendapatkan izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2014. “Jadi, mereka (PT PRIA) melakukan aktivitas lebih dulu sebelum mengantongi izin, termasuk aktivitas penimbunan limbah B3. Padahal PT PRIA tak mempunyai izin landfill,” ungkapnya.
Praktik dumping, lanjut Heru, juga menyasar permukiman warga Desa Lakardowo sejak tahun 2010. Karena belum memahami dampak limbah B3 terhadap lingkungan, warga menggunakan fly ash dan bottom ash sebagai urukan pondasi maupun pengganti pasir saat membangun rumah. Limbah beracun dan berbahaya itu didapatkan warga dengan cara membeli dari makelar, oknum karyawan dan security PT PRIA seharga Rp 100-200 ribu/truk. “Ada 51 titik yang kami laporkan, baru 2 yang di-clean up bulan Januari lalu, tersisa 49 titik yang belum di-clean up,” terangnya.
Heru mengklaim, praktik dumping limbah B3 di Desa Lakardowo membuat sebagian air sumur warga tak memenuhi baku mutu. “Paling fatal dampaknya terhadap kualitas air. Kami pantau 100 sumur di Lakardowo, hasilnya ada 80% sumur yang TDS atau kadar zat terlarut di dalam airnya di atas baku mutu,” ujarnya. Oleh sebab itu, Heru menyatakan warga Desa Lakardowo bakal terus menggelar berbagai aksi protes sampai timbunan limbah B3 diangkat dari tanah.
Aksi protes warga ini mendapatkan respons dari PT PRIA. Manajemen perusahaan pengolah limbah ini menerima perwakilan massa untuk berembuk di dalam pabrik. General Affair Manager PT PRIA Rudi Kurniawan menampik tudingan warga terkait praktik dumping di area pabriknya. “Tidak ada dumping limbah apapun. Hasil audit menunjukkan baku mutu air warga itu bukan dampak dari PT PRIA, memang di sekitar pabrik sejak dulu kondisi airnya sudah seperti itu,” jelasnya.
Rudi menilai, aksi unjuk rasa terkait pengangkatan timbunan limbah B3 di rumah-rumah warga Desa Lakardowo, salah sasaran. Menurut dia, seharusnya warga memprotes Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jatim yang mempunyai kewenangan untuk melakukan clean up. “Kami sangat menyayangkan, 12 Februari sudah ada pertemuan di KLHK yang dihadiri DLH Mojokerto dan DLH Provinsi. Masalah clean up atau kapsulisasi diserahkan ke DLH Provinsi sebagai pihak yang berkompeten. PT PRIA sebagai pihak yang membantu pengangkutan dan pengolahan limbah tersebut,” tandasnya.