Bandung, Teritorial.Com – Jangan sepelekan anak bila kecanduan bermain games di smartphone. Di Jawa Barat, setidaknya ada 209 anak dirawat di RSJ sejak 2016 terkait adiksi internet gan games. Rata-rata tiap bulan 10-12 anak melalui rawat inap/jalan di RSJ Jawa Barat di Cisarua, Kabupaten Bandung Barat ini. Pasien anak ini berusia 8-15 tahun. Dokter spesialis kejiwaan di RSJ Jawa Barat, dr Lina Budiyanti SpKJ, menceritakan orang tua pasien mengeluh putra-putrinya tidak bisa lepas dari gawai.
Namun, dari pemeriksaan, biasanya sudah ada kondisi medis lain yang menyertai (komorbiditas). Gangguan lain ini, ujar Lina, antara lain depresi, trauma dengan lingkungan sekitar, atau memiliki Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHA). “Karena mungkin si anak ini nggak tahu cara mengobatinya. Untuk menyamankan dirinya ketemu lah dengan internet dan games,” jelasnya kepada VOA saat ditemui, pekan ini.
Lina mengatakan kecanduan didorong berbagai faktor biologi, psikologi, dan sosial. Dia belum menemukan kasus adiksi murni. World Health Organization (WHO) telah memasukkan kecanduan internet dan games sebagai gangguan kejiwaan. Hal itu ditulis dalam revisi ke-11 International Classification of Diseases (ICD) yang terbit 2018.
Kecanduan memiliki sejumlah gejala yang perlu diwaspadai, ujar Lina. Gejala-gejala ini antara lain: pikirannya hanya pada games, tetap main games meski kurang tidur, durasi main games terus meningkat, dan bisa menghabiskan banyak uang demi games. Pada kasus ekstrim, anak bisa berhalusinasi karena otak terus dipicu dopamin. Jika gejala-gejala itu berlangsung selama satu tahun, orang tua perlu memeriksakan anaknya.
“Jadi kalau misalnya perilaku itu terus ada sampai satu tahun dan memenuhi kriteria diagnosis itu, baru kita bilang dia adiksi games. Tapi kalau baru beberapa hari dan beberapa bulan, kalau tidak berat banget, kita belum bisa bilang itu adiksi games,” terangnya yang juga melayani pasien di RSJ Kota Bandung.
Jika anak terbukti kecanduan, maka penyakit penyerta akan diobati. Seiring pengobatan terhadap penyakit penyerta, ujar Lina, kecanduan juga akan menurun. Namun bila kecanduan sudah berpengaruh pada otak, anak akan diberikan obat. “Mungkin si anak ini menarik diri, karena memang memiliki citra diri yang buruk. Berarti bagaimana kita membuat dia lebih percaya diri. Sehingga dia mau bersosialisasi dengan teman di sekitarnya. Jadi hari-harinya tidak dihabiskan dengan gadget-nya,” paparnya.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sepakat bahwa kecanduan games. biasanya didorong faktor lingkungan. Komisioner KPAI Retno Listyarti mengatakan keluarga berperan penting. “Bisa jadi adalah anak-anak yang hari-harinya di rumah memang tidak atau jarang bersama dengan orang tua, dan juga tidak memiliki teman bermain di sekitar rumah,” ujarnya dalam kesempatan terpisah.
Retno menambahkan, orang tua memang perlu membatasi penggunaan gawai pada anak. Namun pada saat yang sama, orang tua harus memberi contoh yang baik “Orang tua tuh jangan dia melarang anaknya main gadget tapi dia sendiri hobi banget gadget. Hubungan antara orang tua dan anak itu renggang gara-gara gadget,” ujarnya yang juga aktif di Federasi Serikat Guru Indonesia ini.
Sementara itu Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengatakan sebagian masyarakat belum dewasa dalam menghadapi kehadiran gawai. Salah satu contohnya adalah mudah termakan berita bohong dan mengalami kecanduan.
Pemprov Jabar telah menggulirkan program Sekolah Tanpa Gawai (Setangkai) sejak awal 2019, berharap mampu mencegah kecanduan gawai pada anak sekolah. Di samping itu, pihaknya juga akan kembali mengenalkan berbagai permainan tradisional kepada anak-anak. Di Jawa Barat sendiri tercatat ada 300-an jenis permainan. “Dan itu penuh filosofi. Nyanyinya itu kan penuh arti bukan asal bunyinya,” pungkasnya.