Jakarta, Teritorial.com – Rupiah terus melemah. Kamis (1/3), kurs tengah Bank Indonesia (BI) melemah 0,63 persen ke level Rp 13.793 per dolar AS (USD). Di pasar spot, rupiah sempat diperdagangkan di harga Rp 13.810.
Sejauh ini, kurs rupiah terhadap USD masih menjadi yang terendah dalam setahun terakhir. Sejak awal Januari 2018 hingga kemarin, tingkat volatilitas (daya tarik pasar) terhadap rupiah sekitar 8,3 persen. Sementara sejak awal Februari 2018, nilai rupiah telah terkoreksi 2,8 persen.
Kepala Pengelolaan Departemen Moneter Bank Indonesia (BI) Doddy Zulverdi mengatakan, BI tak tinggal diam ketika rupiah mencapai Rp 13.800. Dengan cadangan devisa yang dimilikinya, BI langsung mengintervensi pasar dengan turut masuk ke pasar uang. “Itu kan terkait taktik dan strategi, kapan kami masuk ke pasar, meski tidak setiap detik. Berapa volume kami masuk, berapa volume intervensinya, itu rahasia. Yang penting, sekarang rupiah sudah berangsur keluar dari Rp 13.800,” tutur Doddy.
Melemahnya rupiah kali ini, menurutnya, murni faktor eksternal dan tidak mencerminkan fundamental perekonomian dalam negeri. Sebab, perekonomian Indonesia sejauh ini sudah menunjukkan perbaikan. Misalnya pertumbuhan ekonomi yang tak terlalu pesat, namun masih mampu tumbuh positif 5,07 persen. Inflasi sepanjang 2017 3,4 persen dan Februari 3,18 persen justru menunjukkan penurunan. Neraca pembayaran pada 2017 masih surplus USD 10 miliar, meski perkembangan ekspor sempat tersendat pada awal tahun ini.
Anggota Komisi VII DPR Satya Widya Yudha menuturkan harga minyak dunia yang cenderung naik dan melemahnya nilai tukar rupiah akan mempengaruhi APBN 2018. Dengan kondisi dua hal itu pemerintah punya dasar untuk mengajukan perubahan postur APBN 2018 “Saya menyarankan paling tidak bulan April ini. Kita lihat kecenderungan kenaikan harga minyak, agar tidak salah prediksi,” ujar Satya, kemarin.
Harga BBM selain premium memang murni diserahkan pada mekanisme pasar. jadi pertamax, pertalite dari Pertamina dan super dari Shell akan mengalami kenaikan disaat harga minyak dunia naik. Sementara solar disubsidi 500 rupiah per liter. Sedangkan premium, keputusan pemerintah dan DPR harganya tak disubsidi namun dievaluasi setiap 3 bulannya. Meskipun, dia tidak yakin harga premium akan naik. “Saya lihat kemungkinan untuk naik kecil pada tahun politik ini,” katanya.
Pakar ekonomi Fahmy Radhi mengungkapkan harga minyak dunia yang terus naik berdampak langsung pada harga BBM di Indonesia. Karena sebagian besar BBM berasal dari impor. Kondisi itu sekaligus berdampak pada pelemahan rupiah. Lantaran kondisi ekspor Indonesia juga masih belum terlalu memadai. “Karena tinggi rendahnya rupiah itu sangat tergantung ekspor impor. Di satu sisi ekspor menurun. Sementara impor naik,” ungkap dia, kemarin.
Dia memprediksi rupiah bisa melemah hingga Rp 14 ribu per satu USD. ”Kita memang masih hasilkan minyak tapi BBM kita diimpor. Sehingga butuh valuta asing untuk biayai impor itu,” tambah dia. Akademisi dari Universitas Gadjah Mada itu mengungkapkan pemerintah harus segera mengubah asumsi-asumsi dasar dalam APBN seperti harga minyak 48 USD per barel. Termasuk pula nilai tukar rupiah. Semua itu perlu disesuaikan dengan kondisi terkini. ”APBN harus diketati lagi. Kencangkan ikat pinggang,” kata dia.
Ketua Asosiasi Eksportir Importir Buah dan Sayuran Segar Indonesia Khafid Sirotuddin mengatakan pelemahan nilai tukar rupiah cukup memukul semua sektor ekonomi di Indonesia. “Memukul semua sektor ekonomi yang berbahan baku impor maupun yang menggunakan dolar,” ujarnya. Untuk importir hal ini tentu saja cukup merugikan. “Nangka jual USD 3, terima USD 3. Belinya menggunakan dolar jualan pakai rupiah,” imbuhnya. Begitu pun bagi eksportir yang tetap harus menggunakan dolar untuk keperluan logistik saat pengiriman barang ke luar negeri.
“Semua biaya pakai dolar. Shipping, demo rate menggunakan dolar. Pusing”, katanya. Apalagi saat ini nilai ekspor buah dari Indonesia masih belum begitu tinggi. Dia menambahkan situasi ini cukup meningatkannya terhadap tahun 1997.
“Waktu itu rupiah juga mengalami pelemahan setelah kehadiran salah satu direktur dana moneter internasional (International Monetery Fund/IMF). Saat ini pun juga. Ada apa?” tuturnya.
Sejak pekan lalu, Managing Director IMF Christine Lagarde berada di Indonesia. Ia disambut Presiden Joko Widodo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Lagarde bahkan sempat dibawa blusukan ke Pasar Tanah Abang. IMF adalah lembaga yang memberi pinjaman kepada Indonesia dalam skema yang sangat ketat pada krisis moneter tahun 1997. Akibatnya beragam kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia ‘diatur’ IMF. Utang pada IMF lunas di zaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Pengamat Ekonomi INDEF Bhima Yudhistira menuturkan, pelemahan kurs rupiah ini akan berisiko menurunkan daya saing produk Indonesia baik domestik maupun ekspor. Sebab, beberapa sektor industri bergantung oleh impor bahan baku dan barang modal. Jika dolarnya mahal, biaya produksi pasti naik ujungnya harga barang jadi lebih mahal. Sementara konsumsi domestik masih stagnan, maka hal tersebut akan berpengaruh pada profit pengusaha juga.
“Resiko berikutnya karena pelemahan rupiah beban pembayaran cicilan dan bunga utang luar negeri pemerintah maupun korporasi makin besar. Resiko gagal bayar apalagi utang swasta yang belum di lindung nilai (hedging) akan naik”, jelasnya.
Bhima melanjutkan, risiko berikutnya adalah sebagai negara net importir minyak mentah, maka posisi Indonesia akan sangat sensitif terhadap pergerakan dolar. Jika dolar menguat terhadap rupiah, harga BBM akan tertekan baik yang subsidi maupun non subsidi. Efeknya penyesuaian harga BBM berbagai jebis diprediksi akan terus dilakukan. Tercatat impor minyak Indonesia sebanyak 350-500 ribu barel per hari karena produksi dalam negeri tak mencukupi konsumsi BBM.
Anggota Komisi VII DPR Satya Widya Yudha