Jakarta, Teritorial.com – Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menolak secara tegas mengenai rekomendasi Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) yang meminta Indonesia mempertimbangkan penghapusan secara bertahap larangan ekspor bijih nikel dan meninjau ulang program terkait hilirisasi.
Sekretaris Jenderal Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Anggawira mendukung langkah tegas Menteri Bahlil yang tidak akan mengikuti saran IMF dan melanjutkan kebijakan yang sudah berjalan, pasalnya pelarangan ekspor bahan mentah bertujuan untuk penguatan industri dalam negeri melalui program hilirisasi.
“Kami dari asosiasi mendukung sepenuhnya langkah-langkah yang dilakukan oleh pemerintah untuk men-stop (ekspor) raw material (bahan baku) dalam rangka penguatan industri dalam negeri,” ujar Anggawira, Kamis, 6 Juli 2023.
Menurut Anggawira kebijakan tersebut sudah tepat, fokus pemerintah menggalakkan program hilirisasi untuk memajukan Indonesia dan terbukti telah menciptakan nilai tambah serta membuka lapangan kerja bagi masyarakat.
Tercatat ekspor nikel tahun 2017-2018 hanya US 3,3 miliar, namun begitu kebijakan hilirisasi dan larangan ekspor nikel diberlakukan pemerintah sejak 2020 lalu telah berhasil menguntungkan hingga US 30 miliar atau setara Rp450 triliun.
“Proses hilirisasi kita anggap itu akan memberikan nilai tambah dan bisa membuka lapangan pekerjaan di kita. Karena bonus demografi kita banyak tenaga kerja produktif jadi harus didorong,” ucapnya.
“Walaupun memang banyak tantangan dari sisi investasi dan juga tentunya tantangan dari sisi pendapatan negara tapi terbukti dalam 2 tahun terakhir peningkatan nilai tambah itu berbanding lurus dengan income pemerintah,” sambung Anggawira.
Lanjut Anggawira setuju dengan pendapat Bahlil yang mengatakan IMF sering menerapkan standar ganda seperti halnya Amerika Serikat (AS) memberlakukan embargo bahan dan alat pembuatan semikonduktor terhadap Tiongkok, namun IMF tidak mengusik kebijakan tersebut.
Sama halnya kebijakan Uni Eropa (UE) yang menerapkan aturan perdagangan baru terkait deforestasi yang berpotensi merugikan produk utama Indonesia seperti minyak kelapa sawit, di pasar Eropa, tetapi IMF melakukan pembiaran.
“Mengenai standar ganda saya kira kerap kali kita mendapati dari lembaga-lembaga dunia ya, kemarin Uni Eropa juga terhadap produk sawit kita. Jadi kalau mereka ada kepentingan pakai standar ganda tapi saya rasa ya ini (nikel) hak kita,” ucapnya.
Lebih lanjut Anggawira mengatakan bahwa pemerintah Indonesia tidak melarang sepenuhnya ekspor nikel, tetapi ketika bahan mentah nikel sudah berhasil diolah di dalam negeri baik setengah jadi atau sudah jadi silah kan untuk diserap di pasar luar negeri.
“Ini kan produk dalam negeri kita dan sebenarnya kita tidak juga tidak melarang sepenuhnya artinya yang kita larang itu kan barang mentahnya tapi ketika sudah diproses ya silakan saja diambil,” paparnya.
Dijelaskan Anggawira yang juga Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi, Mineral dan Batubara Indonesia itu menjelaskan jika negara luar menginginkan bahan mentah dari Indonesia harus berani menanamkan investasinya ke tanah air untuk membangun smelter.
“Jadi ya kita juga berharap negara-negara maju mau berinvestasi dan membangun industrinya di dalam negeri,” tukas Anggawira.
Sebelumnya, Menteri Bahlil mengatakan hilirisasi tak bisa ditawar-tawar atau harga mati. Indonesia akan tetap memprioritaskan kebijakan hilirisasi dan larangan ekspor bahan mentah komoditas tambang.
“Bahwa langit mau runtuh pun, hilirisasi tetap akan menjadi prioritas negara dalam pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, dan larangan ekspor tetap kita lakukan,” tegas Bahlil.
Bahlil yang juga mantan ketua umum HIPMI itu menuding IMF menerapkan standar ganda kepada Indonesia perihal larangan hilirisasi Indonesia.
“Menurut saya ada standar ganda yang dibangun IMF saat negara-negara lain melarang ekspor. Seperti Amerika Serikat yang melarang ekspor semikonduktor. Eropa juga yang membangun konsensus soal pembangunan keberlanjutan. Tapi, kenapa negara kita yang diusik,” ujar Bahlil.
IMF menurut Bahlil, tidak obyektif dalam memberikan pertimbangan kepada Indonesia untuk penghapusan larangan ekspor nikel dan komoditas mineral lainnya.
Bahlil kemudian mengingatkan agar IMF menghargai kedaulatan suatu negara dalam kebijakan yang dirumuskan serta meminta IMF mengadopsi hasil pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali pada November 2022 yang menyepakati setiap negara mempunyai keleluasaan untuk menyusun strateginya, termasuk kebijakan investasi soal hilirisasi, dan sektor prioritas lainnya.
“Keputusan G20 itu sudah disetujui menjadi keputusan bersama dengan memberikan ruang masing-masing negara mengelola penciptaan nilai tambah dengan keunggulan produksi masing-masing,” tukas Bahlil.