Jakarta, Teritorial.com — Laporan terbaru Bank Dunia (World Bank) memperingatkan risiko dari konflik di Timur Tengah, terutama setelah kejadian serangan balasan Iran kepada Israel, dapat berdampak pada perekonomian di seluruh dunia.
Menurut laporan Bank Dunia berjudul Konflik dan Utang di Timur Tengah serta Afrika Utara (Conflict and Debt in the Middle East and North Africa) yang dirilis Senin (15/4/2024), konflik di Jalur Gaza berdampak pada penurunan PDB di kawasan tersebut sebesar 86% pada kuartal IV/2023. Hal itu disebabkan oleh aktivitas perekonomiannya hampir terhenti akibat konflik.
Dampak ekonomi dari konflik Timur Tengah di negara lainnya masih relatif terkendali, tetapi ketidakpastian terus meningkat sehingga berbagai wilayah memperkuat antisipasi terhadap segala ancaman.
Misalnya, industri pelayaran mengalihkan rute kapal-kapalnya agar menjauh dari Laut Merah guna mengantisipasi guncangan transportasi laut.
Pada negara-negara pengimpor dan pengekspor minyak, PDB diproyeksikan tumbuh lebih rendah pada 2023 dibanding 2022, sejalan dengan kenaikan harga minyak yang mendorong pertumbuhan eksportir minyak.
Bagi negara-negara anggota Gulf Cooperation Council (GCC), tingkat pertumbuhan PDB pada 2024 mencerminkan ekspektasi akan kuatnya aktivitas sektor non-minyak.
Adapun, laporan Bank Dunia juga mengamati median utang terhadap PDB di kawasan MENA yang meningkat lebih dari 23 poin persentase, antara 2013 dan 2019.
Pandemi Covid-19 yang memperburuk keadaan karena menurunkan pendapatan, sejalan dengan rasio belanja untuk pencegahan pandemi, meningkatkan kebutuhan pembiayaan di banyak negara.
Peningkatan utang sebagian besar terkonsentrasi di negara-negara pengimpor minyak, yang kini memiliki rasio utang terhadap PDB 50% lebih tinggi, dibanding rata-rata global negara emerging market dan berkembang.
Pada negara-negara pengimpor minyak di MENA, rasio utang mendekati 90% PDB pada 2023, hampir tiga kali lebih tinggi dibanding negara-negara pengekspor minyak di kawasan tersebut.
Laporan Bank Dunia memperlihatkan negara-negara pengimpor minyak di MENA yang tidak mampu keluar dari utang atau meningkatkan utang mereka.
Selain itu, berbagai item di luar anggaran yang memainkan peran besar pada beberapa negara di kawasan MENA telah merugikan transparansi utang dan fiskal.
Adapun, tantangan bagi eksportir minyak adalah diversifikasi pendapatan ekonomi dan fiskal, mengingat adanya perubahan struktural di pasar minyak global dan meningkatnya permintaan terhadap sumber energi terbarukan.
Secara keseluruhan, negara-negara di kawasan MENA dianggap perlu melakukan reformasi struktural. Salah satu reformasinya adalah transparansi untuk mendorong pertumbuhan dan menciptakan alur yang berkelanjutan.