TERITORIAL.COM, JAKARTA – Di Aceh Tamiang, kondisi pasca-banjir semakin bertambah berat. Banyak warga kini tidak punya pilihan lain selain mengkonsumsi air sungai atau genangan hujan, padahal air tersebut keruh dan berisiko.
Riski, seorang warga Desa Tanah Terban, Kecamatan Karang Baru, menyebutkan, “Kalau sekarang air sudah kering sekali, sudah tandus, jadi sekarang muncul debu dari hasil lumpur banjir.”
Persediaan sembako di Aceh Tamiang benar-benar habis. Aktivitas ekonomi di wilayah itu total berhenti sehingga warga tidak punya akses untuk membeli kebutuhan pokok.
“Bantuan sudah mulai masuk dari helikopter satu kemarin. Pasti kurang karena orang sudah terjebak seminggu. Kami di sini lapar, makanan kurang, apalagi air bersih memang tidak ada,” tambah Riski.
Saat hujan deras dan banjir terjadi pada Rabu (26/12/2025), beberapa rumah terendam sampai ke atap. Banyak warga kehilangan rumah, kendaraan hanyut. Sungai juga meluap, menyebabkan banyak infrastruktur rusak.
Belum lagi kondisi logistik dan suplai bantuan. Dari 12 kecamatan terdampak, hanya dua kecamatan yang bisa dijangkau oleh petugas bantuan. Sisanya,10 kecamatan masih terisolir karena akses jalan tertutup banjir dan longsor.
Krisis air bersih juga diperparah karena jaringan distribusi air (PDAM) belum berfungsi kembali. Akibatnya, banyak warga sangat bergantung pada air hujan atau sungai yang jelas tidak aman untuk diminum.
Juru bicara Pemkab Aceh Tamiang, Agusliyana, juga mengakui situasi air bersih di lapangan sangat memprihatinkan. Layanan distribusi air belum beroperasi sehingga masyarakat kesulitan mendapatkan sumber air yang layak minum. Kondisi ini memaksa sejumlah warga bergantung pada air sungai dan air hujan yang tertampung di genangan.
“Bukan air bekas banjir, tetapi air sungai dan air hujan yang masih tergenang, tetapi keruh tidak jernih. Kalau air banjir, sudah pada surut saat ini,” katanya.
Ribuan Pengungsi di Bireuen Kekurangan Obat-Obatan dan Pelayanan Kesehatan
Di Bireuen, dampak banjir juga sangat memperihatinkan . Ribuan pengungsi, baik dewasa maupun anak-anak, kini mulai mengalami sakit seperti batuk, flu, gatal-gatal, dan demam, namun kesulitan mendapatkan obat.
Menurut seorang pengungsi dan relawan, Anas, “Obat-obatan sangat sulit didapatkan oleh pengungsi. Tidak ada petugas medis di lapangan, Pustu, Polindes, dan Puskesmas juga terdampak banjir.”
Banyak pos kesehatan dan fasilitas medis di daerah terdampak turut rusak atau tidak berfungsi akibat banjir.
Hingga kini, kondisi pengungsi masih memprihatinkan. Dari data terakhir, sekitar 63.950 jiwa dari 15.755 kepala keluarga berada di 185 posko pengungsian. Mereka menyebar di banyak desa dan sebagian rumah mereka masih tertutup lumpur pasca-banjir, sehingga tak berani kembali ke rumah.
Kebutuhan mendesak bukan hanya obat-obatan, tetapi juga air bersih, makanan, alas tidur, selimut, masker, terutama bagi anak-anak dan lansia.
Langkah Bantuan Sudah Dimulai, Tapi Masih Belum Cukup
Upaya penyaluran bantuan sudah dilakukan. Di Bireuen misalnya, ada dapur umum di Gampong Raya Dagang, Kecamatan Peusangan, yang setiap hari memberikan makan pagi, siang, dan malam kepada sekitar 1.200 pengungsi.
Tim dari satuan air udara di kepolisian (Ditpolairud Polda Aceh) membantu mendistribusikan bantuan ke desa-desa yang terisolasi, dengan menggunakan perahu karet untuk menyeberangi sungai tempat jembatan putus.
Selain itu, tim medis dari beberapa posko juga mulai memberikan pemeriksaan kesehatan, meskipun jumlahnya masih terbatas. Di satu posko saja di meunasah Gampong Blang Panjoe tercatat 54 pengungsi telah diperiksa dan mendapat pengobatan ringan.
Namun demikian, masih banyak desa yang masih terisolasi karena akses jalan nasional dan jembatan rusak akibat banjir atau longsor.
Dampak Lebih Luas
Bencana telah melumpuhkan sistem distribusi logistik di banyak wilayah. Jalan nasional yang terputus, jembatan ambruk, membuat distribusi bantuan sangat sulit.
Akibatnya, banyak desa tertinggal, tidak menerima bantuan, dan warga terpaksa bertahan dalam kondisi yang sangat tidak manusiawi. Terus menerus tanpa air bersih, makanan memadai, atau akses kesehatan.
Mereka yang rumahnya rusak parah atau hanyut masih tinggal di pengungsian dan hidup dalam ketidakpastian. Belum bisa membersihkan rumah dari lumpur, belum pasti kapan bisa kembali, dan terus menunggu bantuan.

