Fantastis Gaji TKA Ilegal China di Papua Capai Rp 40juta/bulan

0

Papua, Teritorial.Com – Polemik tenaga kerja asing ilegal (TKA) asal China kembali mencuat. Sebelumnya isu TKA ramai diperbincangkan saat demo buruh Mei Day dimana hal tersebut menimbulkan kerawanan publik soal maraknya TKA asal China yang berdatangan ke Indonesia.

Menjadi layaknya komoditas politik, isu TKA menjadi sorotan atas kinerja pemerintah saat dalam menekan angka pengangguran di Indonesia. Namun isu TKA jelas kontra produktif ditengah sulitnya serta minimnya peluang dan lapangan pekerjaan di Indonesia yang banyak dikeluhkan oleh masyarakat.

Menyikapi hal tersebut, baru-baru ini Imigrasi Kelas II Tembagapura, Timika merazia puluhan pekerja asing ilegal yang bekerja di areal pertambangan emas rakyat di Kabupaten Nabire, Papua. Para pekerja ilegal yang kebanyakan berasal dari China itu diketahui menerima gaji fantastis. Bahkan ada yang mencapai Rp 40 juta per bulan.

“Dari investigasi yang kami lakukan, mereka semua digaji rata-rata 7.000 – 8.000 Yuan atau sekitar Rp 14 juta – Rp 15 juta per bulan. Bahkan ada yang sampai Rp 40 juta. Itu keterangan mereka,” kata Kepala Kantor Imigrasi Tembagapura, Timika, Jesaja Samuel Enock di Timika, Senin, 25 Juni 2018.

Samuel mengatakan, ia langsung memimpin jalannya operasi penertiban orang asing di empat lokasi tambang emas rakyat di Kabupaten Nabire pada 10 Juni lalu.
Bersama empat orang stafnya, Samuel mendatangi lokasi tambang emas rakyat di Kampung Bifasik, Kampung Lagari dan sepanjang aliran Sungai Musaigo, Distrik Makime, Kabupaten Nabire.

Empat lokasi tambang emas rakyat itu dieksploitasi oleh sebuah perusahaan bernama Pacific Maning Jaya yang berkedudukan di Nabire.

Menurut Samuel, pemilik perusahaan tersebut berinisial BE menjadi target utama pihak Imigrasi Tembagapura, Timika untuk diajukan ke kursi pesakitan lantaran mempekerjakan puluhan pekerja asing tanpa dokumen resmi alias menyalahi izin tinggal.

“Dari 21 orang warga negara asing yang sudah kami periksa di Kantor Imigrasi Tembagapura, Timika, ada yang menggunakan bebas Visa kunjungan wisata, ada yang menggunakan Visa kunjungan. Rata-rata mereka beralamat di Jakarta. Ini sudah pelanggaran karena keberadaan mereka tidak sesuai dengan tempat tinggalnya,” jelas Samuel.

Menurut dia, perusahaan Pacific Mining Jaya di Nabire tidak pernah melapor ke Kantor Imigrasi Tembagapura terkait keberadaan puluhan pekerja asing asal Tiongkok, Jepang dan Korea Selatan tersebut.

“Terdapat indikasi kuat bahwa keberadaan mereka di sana untuk bekerja sebab di situ merupakan lokasi tambang. Orang-orang asing itu datang ke sana bukan untuk sekedar jalan-jalan, tapi mereka memang melakukan aktivitas di lokasi tambang,” jelas Samuel.

Sebanyak 21 pekerja asing yang sudah ada di Timika dan sebagian lagi yaitu sebanyak 16 orang asing yang berada di Nabire, seluruhnya nanti akan diajukan ke pengadilan dengan sangkaan melakukan tindak pidana keimigrasian sebagaimana diatur dalam Pasal 122 huruf a UU Nomor 6 Tahun 2011, dimana ancaman hukumannya yaitu selama lima tahun penjara dan denda sebesar Rp100 juta.

“Nanti semuanya akan menjalani proses pidana, tidak ada yang kami deportasi. Dari catatan Paspor mereka, ada yang sudah berulang kali keluar masuk Indonesia. Ada yang pernah bekerja di Sulawesi, ada yang pernah bekerja di Maluku Utara. Kami melihat ada suatu kesengajaan dari pihak-pihak tertentu untuk mendatangkan orang asing ke tempat-tempat tersebut,” kata Samuel dilansir dari republika.co.

Dari keterangan awal para pekerja asing tersebut, mereka telah bekerja di lokasi tambang emas rakyat di Kabupaten Nabire dalam jangka waktu bervariasi mulai dari tiga bulan hingga enam bulan.

Adapun pekerjaan yang mereka geluti di lokasi tambang emas rakyat di Nabire bermacam-macam mulai dari supir dum truk, operator ekscavator, operator peralatan pemurnian emas, bahkan ada yang bekerja sebagai tukang masak.

“Mereka semua melakukan pekerjaan yang sebenarnya bisa dilakukan oleh orang-orang lokal. Berarti mereka bukan tenaga ahli yang memang sangat diperlukan oleh perusahaan tempat mereka bekerja. Mengapa perusahaan tidak mau mempekerjakan tenaga kerja lokal, tapi harus didatangkan dari luar negeri,” tanya Samuel.

Lebih ironis lagi, demikian Samuel, masyarakat lokal yang nota bene merupakan pemilik hak ulayat atas lokasi tambang emas rakyat di Nabire tersebut sama sekali tidak diizinkan untuk melihat proses produksi apalagi mengetahui hasil produksi emas yang diolah di lokasi lahan mereka sendiri.

“Semua pekerjaan mereka yang ambil alih. Masyarakat lokal hanya dapat tugas untuk mengambil bahan bakar di Nabire. Penghasilan yang masyarakat terima sangat jomplang dibanding orang asing yang bekerja di lokasi tambang itu,” tutur Samuel.

“Masyarakat sangat mendukung kehadiran kami untuk melakukan penegakkan hukum terhadap orang asing yang bekerja di lokasi tambang-tambang itu karena sekaligus memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat yang seharusnya mendapat porsi yang adil dari pihak perusahaan,” pungkasnya. (SON)

Share.

Comments are closed.