Yogyakarta, Teritorial.com – Wacana membangun jalur kereta api ke Borobudur sebenarnya sudah lama ada. Jalur kereta api yang melewati kompleks Candi Borobudur bahkan sudah terpikirkan sejak masa kolonial Belanda.
Belum lama ini Dinas Perhubungan DIY mengesahkan Rancangan Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (Raperda RTRW). Pasal 16 Ayat 2 Raperda RTRW berbunyi, reaktivasi jalur kereta api Jogja-Magelang-Secang-Ambarawa. Termasuk dalam reaktivasi jalur tersebut adalah jalur kereta api menuju Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Borobudur dan sekitarnya.
Sebenarnya reaktivasi jalur KA ke Borobudur dan sekitarnya bukanlah hal baru. Sebelumnya, reaktivasi itu pernah diajukan. Bahkan, pihak pusat sempat menanggapi dengan melakukan kajian terhadap jalur KA Jogja-Magelang yang sudah tidak aktif sejak 1978. Namun, kajian yang berlangsung sebelum pandemi itu mandek alias belum ada kelanjutan dan kejelasan.
Padahal dari kajian awal itu sempat memuncul dua alternatif rute menuju Borobudur. Pertama, jalur KA yang melewati Stasiun Patukan, Kulonprogo. Kedua, jalur KA yang melewati Stasiun Sentolo, Sleman.
Sebenarnya, jalur KA yang melintasi Stasiun Patukan menuju Magelang pernah ada sebelumnya Hanya saja, jalur itu sudah tertutup bangunan tempat tinggal warga. Tantangan lain, topografi kawasan Borobudur yang terapit oleh empat gunung menyulitkan dalam membangun jalur baru.
Tantangan-tantangan ini yang menjadikan jalur KA direncanakan melayang atau elevated. Entah mengikuti jalur yang sudah ada sebelumnya atau membuat jalur yang benar-benar baru. Terlepas dari itu semua, pembangunan jalur KA ini menjadi tanggung jawab pusat karena jalur akan melintasi dua provinsi.
Naik kereta api ke Borobudur, wacana sejak zaman Belanda
Sebenarnya jalur kereta api yang melintasi kawasan Borobudur sudah pernah terpikirkan di zaman penjajahan Belanda. Mengutip Susur Rel Kompas 2015, Belanda sempat berencana menghubungkan jalur kereta api Muntilan dan Stasiun Purworejo. Apabila ditarik garis lurus, jalur kereta api memang berpotensi melintasi kawasan Borobudur.
Kalau pada waktu itu pembangunan jalur terealisasi, bukan tidak mungkin Borobudur kini bisa diakses dengan kereta api dari berbagai daerah. Sayangnya, rencana itu tidak pernah terjadi. Belanda menunda rencananya karena krisis ekonomi global di akhir 1929.
Tantangan membangun jalur kereta api melewati Borobudur sebenarnya lebih dari itu. Pada zaman kolonial, ada beberapa perusahaan yang membangun dan memiliki jalu-jalur kereta. Perbedaan kepemilikan menimbulkan perbedaan kepentingan. Kondisi ini membuat jalur kereta api pada saat itu tidak terintegrasi. Belum lagi, ukuran rel yang terpasang pun juga berbeda-beda tergantung perusahaan yang membangunnya.
Begitu pula dengan jalur kereta di Purworejo dan Muntilan. Keduanya di bawah perusahaan swasta yang berbeda. Jalur KA Muntilan dimiliki oleh Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NIS). Sementara jalur KA Kutoarjo-Purworejo dibangun perusahaan Pemerintah Hindia Belanda, Staatsspoorwegen (SS).
Mewujudkan impian naik kereta api ke Borobudur semakin mustahil setelah Hindia-Belanda jatuh ke tangan Jepang pada 1942. Di masa itu perkeretaapian Indonesia mengalami kemunduran drastis. Jepang melepas rel-rel di berbagai jalur untuk dikirimkan ke Myanmar dan Thailand demi kepentingan ekspansi.