Jakarta, Teritorial.Com – Dede Solehudin pemerhati masalah sosial, pada kasus kecelakaan lalu lintas yang terjadi di ruas Tol Cipularang, sebenarnya ada dua hal yang kadangkala luput dari perhatian kita. Kedua hal tersebut adalah infrastruktur yang manusiawi (fisik) dan cultural lag (perilaku). Infrastruktur yang manusiawi adalah segala hal yang berkaitan dengan sistem transportasi yang dimulai dari layaknya jalan yang digunakan, kendaraan yang memenuhi aspek keselamatan, dan ketersediaan marka yang memadai. Ketiga unsur ini harus mampu dipenuhi sehingga pengguna akan lebih mudah dalam menggunakan segala fasilitas yang ada.
Jalan yang baik bukan hanya jalan yang datar, lurus, dan mulus. Melainkan jalan yang pada saat konstruksinya memperhatikan aspek potensi perilaku penggunanya. Jalan yang lurus, lebar, datar, dan mulus bukan hanya memudahkan bagi pengguna. Namun pada sisi yang berbeda, ini sebuah tantangan tersendiri bagi pengguna yang tingkat mawas dirinya kurang. Bahkan bisa menjadi malapetaka.
Aspek infrastruktur ini jangan hanya dikaitkan pada kondisi jalanan saja. Kondisi kendaraan juga sangat rentan mempengaruhi tingkat keselamatan pengguna. Cipularang bisa dinisbatkan sebagai sebuah hasil teknologi yang cukup tinggi. Negara menyediakan jalan yang begitu baik dan berkualitas. Jalan yang lebar, lurus, dan mulus. Namun di sisi yang lain kendaraan yang digunakan belum memenuhi tingkat minimal keselamatan pengguna.
Adanya rem yang tidak berfungsi misalnya dijadikan penyebab utama kecelakaan tersebut. Kondisi jalan dan kendaraan yang memenuhi kelayakan harus dipadukan demi terciptanya sistem lalu lintas yang menjamin keselamatan bagi semua pengguna. Sisi yang lain adalah pengguna belum bisa menyesuaikan diri dengan jalan tersebut. Tingkat kedisiplinan berkendara pun bisa saja menjadi momok yang menjadikan lalu lintas sebagai sebuah medan yang mengerikan.
Pengguna jalan pada umumnya akan merasa bahagia ketika jalan yang ada di depannya mulus, lengang, dan lebar. Ini memantik keinginannya untuk memacu kendaraannya lebih cepat dengan mengabaikan aspek teknis kendaraan yang ditumpanginya atau kondisi yang secara tiba-tiba terjadi. Padahal sudah jelas bahwa setiap ruas jalan memiliki batas kecepatan maksimum yang diperbolehkan. Namun pengendara mengesampingkan hal ini. Padahal sistem jalan tol bukan jalan tanpa batas kecepatan, melainkan jalan yang bebas dari hambatan. Sehingga setiap insiden buruk selalu melibatkan dua aspek ini, yaitu aspek infrastruktur dan perilaku.
Secara spesifik, perilaku ini cenderung jenis perilaku yang dikategorikan sebagai cultural lag. Perilaku ini menurut beberapa referensi bisa diartikan sebagai sebuah kondisi yang timpang antara kemajuan teknologi dengan kemajuan perilaku. Pada kasus kecelakaan di ruas tol Cipularang, yang berulang terjadi dan pemberitaannya selalu menyita perhatian publik, perilaku masih belum bisa menyesuaikan dengan kondisi fisik jalan dan kendaraan. Jalan yang sudah baik, kendaraan yang kurang memenuhi standar minimal kelayakan, serta perilaku yang kurang disiplin mengakibatkan terjadinya insiden.
Beberapa keterangan menyebutkan bahwa rem blong adalah penyebabnya. Pada keterangan lain menyebutkan bahwa pengemudi yang kendaraannya terguling mengetahui bahwa remnya tidak berfungsi. Satu lagi bahwa pengemudi truk yang menabrak mobil lain sadar bahwa muatannya cukup berat (over weight) dan over capacity dan sistem pengereman tidak mampu untuk menghentikan laju kendaraannya. Fakta-fakta ini bisa menyimpulkan bahwa ketiga aspek yaitu kondisi jalan, kondisi kendaraan, dan perilaku secara bersama-sama menyebabkan kecelakaan tersebut.
Namun aspek perilaku menjadi hal yang sangat utama. Ada aturan yang dilanggar yaitu abai pada kondisi kendaraan yang fungsi pengeremannya tidak maksimal. Secara sadar mengetahui bahwa muatannya sangat berat bahkan over weight, tapi tetap abai. Dua fakta perilaku ini jelas bisa dikategorikan sebagai perilaku yang “terbelakang”, timpang dengan kondisi jalan yang baik. Namun ini bukan satu-satunya penyebab. Seandainya perilaku pengguna dapat menyesuaikan dengan kondisi yang ada, setiap insiden buruk lalu lintas bisa diminimalisasi baik frekuensinya maupun kerugiannya.
Aturan yang Jelas
Kondisi jalan ini bukan jaminan semua pengendara bisa selamat. Kondisi jalan dan sistem pengelolaannya pun haruslah ramah bagi pengendara. Ramah di sini adalah ada aturan yang jelas yang bersifat memaksa agar keselamatan jadi prioritas utama. Aspek budaya disiplin dan aspek kelayakan kendaraan yang ditumpanginya memiliki peranan yang lebih dominan. Budaya ugal-ugalan, gemar menerabas, abai pada keselamatan adalah bagian dari perilaku buruk bangsa ini.
Pun demikian dengan kondisi kelayakan kendaraan yang tidak memenuhi standar minimal. Fungsi-fungsi pokok kendaraan harus terpenuhi dengan baik. Kendaraan bukan hanya memiliki pedal gas, tapi juga rem dan berbagai piranti yang menunjang pada keselamatan. Kesemuanya ini harus betul-betul berfungsi dengan optimal. Terlebih pada sisi perilaku pengguna yang harus segera berubah.
Kondisi jalan khususnya ruas tol sudah semakin baik. Maka dari itu perilaku juga harus semakin baik. Sehingga kondisi cultural lag bisa segera hilang. Kemajuan teknologi harus beriringan secara paralel dengan kemajuan perilaku. Semoga di masa datang, tidak lagi terjadi insiden-insiden serupa. Mari ubah perilaku kita agar kita tetap aman dalam berkendara. Agar kita selalu selamat sampai tujuan.