JAKARTA, Teritorial.com – Kepala Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) yang juga Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, menilai pengelolaan pengamanan perbatasan perlu menerapkan sistem smart border yang terbagi atas soft border dan hard border.
Dua sistem tersebut perlu diterapkan mengingat kompleksitas pengelolaan dan pengamanan kawasan perbatasan negara yang cukup panjang dan sarana prasarana pengamanannya belum cukup memadai.
Secara geografis, wilayah kedaulatan NKRI merupakan kawasan yang cukup strategis dan merupakan Negara Besar yang berbatasan langsung dengan tiga Negara untuk batas negara darat, 10 negara untuk batas negara laut, memiliki 3.151 KM panjang perbatasan Darat.
Untuk batas laut wilayah Indonesia memiliki panjang garis pantai kurang lebih 99.093 KM dan berbatas laut teritorial dengan empat negara yaitu Malaysia, Republic Democratic Timor Leste (RDTL), Papua New Guinea (PNG) dan Singapura. Sedangkan secara Yuridiksi batas laut Indonesai berbatasan dengan sembilan negara yaitu Malaysia, RDTL, PNG, India, Thailand, Vietnam, Filipina, Palau, dan Australia.
Rasio Pengamanan Batas Darat Wilayah Perbatasan Negara saat ini masih belum maksimal dibandingkan Panjang wilayah perbatasan NKRI, yakni 3.151 KM untuk wilayah Darat dan 99.093 KM panjang Garis Pantai. “Sebagai contoh data yang disampaikan oleh Satgas OPS. PAMTAS Yonif Raider 641/BRU tahun 2019, di perbatasan RI-Malaysia di wilayah Kalimantan Barat terdapat 60 titik perlintasan ilegal dan dari laporan Unit
Pengelola PLBN masih banyak jalur-jalur ilegal disekitar PLBN yang menjadi jalur penyelundupan barang-barang ilegal,” kata Menteri Tito dalam sambutannya pada acara Rapat Koordinasi Nasional Pengamanan Perbatasan Negara (Rakornas Pamtas) Tahun 2020 di Hotel Pullman Central Park Podomoro City, Jakarta Barat, Rabu (11/3/2020).
Dengan kondisi sarana prasana di perbatasan yang masih terbatas serta jumlah petugas dan aparat pengamanan yang jauh dari memadai, ditambah lagi dengan tingkat ekonomi dan pendidikan masyarakat kawasan perbatasan yang masih rendah, sangat berkontribusi besar pada maraknya tindakan perlintasan secara ilegal termasuk didalamnya adalah tindak kejahatan transnasional. Untuk itu, pengelolaan pengamanan perbatasan perlu menerapkan sistem smart border yang terbagi atas soft border dan hard border.
Penerapan softbordersaat ini telah di lakukan di 7 (tujuh) Pos Lintas Batas Negara Terpadu yang menerapkan pola keterpaduan pengawasan dan pelayanan lintas batas negara dalam satu manajemen pengelolaan Pos Lintas Batas Negara Terpadu yang dikoordinir oleh BNPP. “Dengan Keterpaduan palaksanaan pemeriksaan dan layanan lintas batas negara yang dikoordinasikan oleh Unit Pengelola PLBN, mampu menghadirkan rasa aman, nyaman dan ramah investasi bagi pelintas maupun pelaku usaha khususnya di kawasan Perbatasan negara,” jelasnya.
Menteri Tito menambahkan penerapan softborder ini juga akan terus dikembangkan seiring dengan di bangunnya kembali 11 PLBN sebagaimana amanat dari Inpres Nomor 1 Tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan 11 PLBN dan Sarana Prasarana Penunjang di Perbatasan yang ditargetkan pembangunannya selesai pada akhir tahun 2021.
Sementara untuk penerapan hardborder di batas wilayah negara akan disinergikan dengan kegiatan Pos Pamtas yang ada saat ini, terdapat 113 Pos Pamtas di wilayah Kalimantan, 41 Pos Pamtas di Wilayah NTT dan 101 Pos Pamtas di Wilayah Papua serta 75 Pos Pengamanan di Wilayah Laut teritorial NKRI.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) yang juga Ketua Pengarah Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), Mahfud MD mengataķan penyelesaian permasalahan pengelolaan batas wilayah negara dan lintas batas negara seperti tapal batas (demarkasi), keamanan nasional (national security), keamanan manusia (human
security), serta aktifitas lintas batas yang bersifat ilegal seperti penyelundupan, narkotika, terorisme, dan lain sebagainya harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
“Saat ini Indonesia telah menjadi destinasi berkung Warga Negara Asing, Imigrasi mencatat di tahun 2018,sebanyak 21 juta WNA masuk kewilayah Indonesia melalui 69 Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI). Angka ini jauh lebih banyak dibandingkan Warga Negara Indonesia (WNI) yang keluar Indonesia, yakni hanya sebanyak 16.437.371 orang. Selain itu, sampai dengan bulan September tahun 2019, pihak Imigrasi telah menampung 13.863 orang pengungsi (refugees) yang berasal dari 40 negara”, ucap Mahfud.
Hal ini membuat kawasan perbatasan selalu mendapatkan atensi dalam penanganannya, terbukti dengan dimasukkannya perbatasan negara sebagai salah satu agenda strategis dalam Nawa Cita ke tiga yaitu “Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia” pada Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf kalla Tahun 2015-2019.