TERITORIAL.COM, JAKARTA – Ribuan warga Kabupaten Pati menggelar aksi unjuk rasa di depan kantor Bupati Pati, Rabu (13/8), menuntut Bupati Sudewo mundur dari jabatannya. Demonstrasi yang berlangsung sejak subuh tersebut diwarnai bentrokan dengan aparat kepolisian dan berujung pada penembakan gas air mata.
Aksi ini dipicu oleh rencana kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) sebesar 250 persen yang diusulkan Sudewo. Meski kebijakan tersebut telah dibatalkan pada Jumat (8/8) lalu, massa tetap menuntut bupati untuk lengser.
Bentrokan dengan Aparat
Ketegangan mulai memuncak sekitar pukul 11.00 WIB ketika warga memadati Alun-alun Pati. Sejumlah barang seperti botol minuman, tiang bendera, dan sandal dilemparkan ke arah petugas kepolisian.
Situasi semakin memanas ketika massa secara perlahan mendobrak gerbang kantor bupati karena kecewa Sudewo tidak kunjung menemui mereka. Aparat kemudian merespons dengan menyemprotkan meriam air ke arah warga.
Puncak bentrokan terjadi sekitar pukul 12.00 WIB ketika polisi melepaskan tembakan gas air mata ke kerumunan massa. Akibatnya, 33 orang mengalami luka ringan dan dirawat di RSUD RAA Soewondo.
“Mata ini sakit, napas sesak, ya Allah sesak sekali. Tolong Pak polisi, jangan pakai gas air mata,” keluh Kartini (56), salah satu korban yang terkena gas air mata.
Bersamaan dengan aksi massa, delapan fraksi di DPRD Pati sepakat menggelar hak angket terkait kenaikan PBB-P2 yang berujung pada tuntutan pemakzulan bupati.
Inisiator aksi, Ahmad Husein, menegaskan massa akan terus berdemonstrasi hingga Sudewo menyatakan mundur. “Kalau hari ini tidak lengser, besok lagi, lanjut terus demo. Pokoknya kami akan tunggu dan mendesak Sudewo menemui masyarakat,” tegas Husein.
Retno (57), penjual roti asal Pati, mengaku datang murni dari hati tanpa ditunggangi pihak manapun. “Sadewo harus lengser karena dia sombong sekali, semena-mena dengan rakyat kecil. Kami dibohongi, tidak sesuai dengan janji kampanye,” ujarnya.
Sekitar pukul 12.15 WIB, Bupati Sudewo keluar dari kantornya menggunakan kendaraan lapis baja milik kepolisian untuk menemui massa. Dengan mengenakan kemeja putih, dia meminta maaf kepada warga.
“Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya, saya akan berbuat lebih baik,” kata Sudewo dari atas kendaraan lapis baja.
Namun, dia menolak tegas tuntutan massa untuk mundur. “Saya kan dipilih rakyat secara konstitusional dan secara demokratis, jadi tidak bisa saya harus berhenti dengan tuntutan seperti itu. Semua ada mekanisme,” tegasnya kepada wartawan.
Gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi telah memperingatkan Sudewo untuk menerima aspirasi warga dan memperhatikan perkembangan situasi. “Sudah saya peringatkan kepada bupati untuk menerima aspirasinya dan melihat perkembangan situasinya,” ujar Luthfi di kantor Gubernur Jawa Tengah.
Pakar politik Universitas Diponegoro, Wahid Abdulrahman, menilai pemakzulan terhadap Bupati Pati sangat mungkin terjadi meskipun prosesnya panjang dan tidak mudah.
Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pemberhentian kepala daerah harus melalui serangkaian proses mulai dari usulan ke Menteri Dalam Negeri dan pemeriksaan oleh Mahkamah Agung.
“Bisa dibilang kepercayaan dari masyarakat dan DPRD sedang rendah-rendahnya. Kalau ditambah dengan variabel politik yang lain, pemakzulan sangat mungkin terjadi,” kata Wahid.
Pakar politik Nur Hidayat Sardini menilai munculnya aksi unjuk rasa ini akibat minimnya empati Bupati Sudewo dalam membuat kebijakan, terutama di tengah kondisi ekonomi yang sulit.
“Memang otoritas ada di tangan bupati, tapi pada saat bersamaan dia harus mendengarkan kemampuan rakyatnya. Apakah pantas dia menantang warganya? Itu tidak bijak dan semena-mena,” kritik Sardini.
Latar Belakang Aksi
Unjuk rasa bermula dari rencana Sudewo menaikkan PBB-P2 sebesar 250 persen pada 2025. Keputusan ini diambil dalam rapat intensifikasi PBB-P2 bersama para camat dan anggota Pasopati di Kantor Bupati Pati.
Sudewo berargumen penyesuaian tarif bertujuan meningkatkan pendapatan daerah untuk mendukung program pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik. Penerimaan PBB Kabupaten Pati saat ini hanya Rp29 miliar, jauh lebih rendah dibandingkan Kabupaten Jepara (Rp75 miliar), Rembang, dan Kudus (masing-masing Rp50 miliar).
Namun, rencana ini menuai kritik keras dari warga yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Pati Bersatu. Sudewo bahkan pernah menantang penolakan tersebut dengan mengatakan, “Siapa yang akan melakukan penolakan, Yayak Gundul? Silakan lakukan, jangan hanya 5.000 orang, 50.000 orang pun suruh kerahkan, saya tidak akan gentar.”
Meski kebijakan kenaikan PBB-P2 telah dibatalkan pada 8 Agustus lalu, massa tetap menuntut Sudewo mundur karena dianggap telah menyakiti hati rakyat dan mengingkari janji kampanye.
Polresta Pati mengerahkan 2.684 personel gabungan dari 14 polres jajaran, TNI, serta berbagai instansi untuk mengamankan aksi demonstrasi. Kapolresta Pati Jaka Wahyudi menegaskan pengamanan dilakukan secara profesional dan humanis.
Apa aturan untuk memberhentikan kepala daerah?
Dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur hal-hal apa saja yang membuat kepala daerah dan wakil kepala daerah diberhentikan dari jabatannya dan bagaimana mekanismenya.
Pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dilakukan karena beberapa alasan, yakni: meninggal dunia, permintaan sendiri, dan diberhentikan.
Kepala daerah dan wakil kepala daerah yang diberhentikan itu, terjadi karena hal-hal berikut:
- Berakhir masa jabatannya.
- Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama enam bulan. Misalnya, menderita sakit yang mengakibatkan fisik atau mental tidak berfungsi secara normal yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
- Dinyatakan melanggar sumpah atau janji jabatan.
- Tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah mentaati seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Melanggar larangan bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah, dalam:
- Melakukan perbuatan tercela: judi, mabuk, memakai atau mengedarkan narkotika, dan zina.
- Diberi tugas dalam jabatan tertentu oleh Presiden yang dilarang untuk rangkap oleh ketentuan perundang-undangan.
- Menggunakan dokumen dan atau keterangan palsu sebagai persyaratan pada saat pencalonan kepala daerah berdasarkan pembuktian dari lembaga yang berwenang menerbitkan dokumen.
- Mendapatkan sanksi pemberhentian.
Bagaimana mekanisme pemberhentian bupati?
Pemberhentian bupati dan atau wakil bupati yang dinyatakan melanggar sumpah atau janji kepala daerah/wakil kepala daerah atau tidak melaksanakan kewajiban, atau melakukan perbuatan tercela diusulkan kepada Menteri Dalam Negeri berdasarkan putusan Mahkamah Agung atau pendapat DPRD Kabupaten/Kota.
Pendapat DPRD dimaksud diputuskan melalui Rapat Paripurna yang dihadiri paling sedikit 3/4 dari jumlah anggota dan putusan diambil dengan persetujuan paling sedikit 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.
Selanjutnya, pendapat DPRD itu harus diperiksa, diadili dan diputuskan oleh Mahkamah Agung paling lambat 30 hari setelah permintaan DPRD diterima, serta putusannya bersifat final.
Apabila Mahkamah Agung memutuskan bahwa Bupati dan/atau Wakil BUpati terbukti melakukan perbuatan tersebut, pimpinan DPRD menyampaikan usul kepada Menteri Dalam Negeri untuk pemberhentian Bupati dan/atau Wakil Bupati.
Menteri Dalam Negeri, kemudian, wajib memberhentikan Bupati dan/atau Wakil Bupati paling lambat 30 hari sejak menerima usul pemberhentian tersebut dari pimpinan DPR.
Apabila pimpinan DPRD Kabupaten/Kota tidak menyampaikan usulan pemberhentian Bupati dan atau Wakil Bupati sejak diterimanya pemberitahuan putusan Mahkamah Agung, Menteri Dalam Negeri memberhentikan Bupati dan atau Wakil Bupati atas usul Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat.
Dalam hal Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat tidak menyampaikan usul kepada Menteri Dalam Negeri, Menteri Dalam Negeri memberhentikan Bupati dan atau Wakil Bupati.
Tetapi, apabila DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota tidak melaksanakan Rapat Paripurna DPRD untuk mengeluarkan Pendapat DPRD terkait kepala daerah dan atau wakil kepala daerah yang melanggar sumpah atau janji jabatan, tidak melaksanakan kewajiban, atau melakukan perbuatan tercela pemerintah pusat memberhentikan kepala daerah dan atau wakil kepala daerah dimaksud.
Untuk itu, pemerintah pusat melakukan pemeriksaan terhadap kepala daerah dan atau wakil kepala daerah untuk menemukan bukti-bukti terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh kepala daerah dan atau wakil kepala daerah.
Hasil pemeriksaan tersebut disampaikan oleh pemerintah pusat kepada Mahkamah Agung untuk mendapatkan keputusan tentang pelanggaran yang dilakukan oleh kepala daerah dan atau wakil kepala daerah.
Apabila Mahkamah Agung memutuskan bahwa kepala daerah dan atau wakil kepala daerah terbukti melakukan pelanggaran, pemerintah pusat memberhentikan kepala daerah dan atau wakil kepala daerah tersebut.