Tuai Kontroversi terkait Aturan dari Direktorat Jenderal Bea Cukai, Bagaimana Penjelasan Menkeu Sri Mulyani?

0

Jakarta, Teritorial.com – Penegakan aturan oleh Direktorat Jenderal Bea Cukai menuai kontroversi belakangan ini, setelah sejumlah warganet mengaku ditagih bea masuk sebesar puluhan hingga ratusan juta rupiah untuk barang yang dikirim dari luar negeri.

Polemik ini mengemuka setelah seorang pengguna media sosial bernama Radhika Althaf membeli sepatu seharga Rp10,3 juta, dan dikenakan sanksi administratif sebesar Rp31,8 juta.

Dalam kasus lain, seorang pembuat konten juga mengeluhkan pungutan dan proses penanganan dari pihak bea dan cukai terkait mainan robot yang akan ia ulas, termasuk kasus hibah alat pembelajaran untuk tunanetra yang tertahan di bea cukai.

Dalam keterangan terbaru, Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengeklaim sejumlah kasus yang menjadi perbincangan publik dan viral di media sosial ini sudah selesai.

“Masalah ini sudah selesai karena Bea Masuk dan Pajak-nya telah dilakukan pembayaran, sehingga barangnya pun sudah diterima oleh penerima barang,” kata Sri Mulyani melalui akun resmi Instagram.

Menurut Sri Mulyani, dua kasus ini (sepatu dan mainan robot) ditemukan indikasi bahwa harga yang diberitahukan oleh perusahaan jasa titipan (PJT) lebih rendah dari yang sebenarnya (under invoicing).

“Oleh sebab itu, petugas BC (Bea dan Cukai) mengoreksi untuk keperluan penghitungan bea masuk dan pajaknya,” jelasnya.

Terkait dengan pengiriman barang dari luar negeri untuk kebutuhan SLB berupa 20 unit alat belajar penyandang tunanetra, Sri Mulyani mengatakan “sebagai barang kiriman oleh PJT pada tanggal 18 Desember 2022”.

“Namun karena proses pengurusan tidak dilanjutkan oleh yang bersangkutan, tanpa keterangan apa pun, maka barang tersebut ditetapkan sebagai Barang Tidak Dikuasai (BTD),” katanya.

Kasus barang ini muncul belakangan di media sosial, dan diketahui unit tersebut merupakan hibah, “sehingga BC (Bea dan Cukai) akan membantu dengan mekanisme fasilitas pembebasan fiskal atas nama dinas pendidikan terkait”.

Dalam kesempatan yang sama, Sri Mulyani memerintahkan jajaran Bea dan Cukai terus melakukan layanan dan proaktif memberikan pendidikan terkait kebijakan-kebijakan pemerintah.

“Saya juga meminta BC untuk bekerjasama dengan para stakeholders terkait, agar dalam pelayanan dan penanganan masalah di lapangan dapat berjalan cepat, tepat, efektif sehingga memberikan kepastian kepada masyarakat,” jelas Sri Mulyani.

Dalam postingan terbaru Radhika Althaf yang sebelumnya mengeluhkan tagihan bea cukai sepatunya mencapai Rp31 juta di TikTok, ia mengaku masalahnya belum selesai.

“Saya harus klarifikasi, bahwa kasus saya belum selesai. Pihak Bea dan Cukai tidak pernah memfasilitasi saya dalam menyelesaikan perkara ini,” kata Radhika melalui akun TikTok, Sabtu sore (27/04).

Sementara itu, seorang pembuat konten Medy Renaldy mengaku telah menerima mainan robot, produk Megatron Robosen yang dikirim dari Hong Kong.

“Halo, warga X. Terima kasih sudah meramaikan kemarin. Sedikit banyaknya, itu sangat membantu saya mendapatkan paket Megatron saya. Tapi, isinya bikin saya lumayan sedih, kok bisa sampai penyok dan sobek seperti ini?” katanya merujuk pada salah satu kemasan yang robek.

Dalam kasus ini, Medy mengaku memperoleh hadiah dari pihak produsen berupa robot mainan – bukan pembelian – untuk diulas. Namun, pihak bea dan cukai mengenai pungutan setara Rp27,5 juta yang merujuk pada produk mainan lainnya.

Keluhan Medy sempat mendapat respon staf khusus Menteri Keuangan, Prastowo Yustinus yang menjanjikan akan menindaklanjuti persoalan ini.

Kasus pungutan lain yang menjadi sorotan publik, termasuk Menkeu Sri Mulyani adalah hibah 20 unit alat belajar untuk penyandang tunanetra. Akun @ijalzaid yang sebelumnya mengeluhkan adanya pungutan atas hibah yang dikirim dari Korea Selatan, mengatakan “sudah ada arahan untuk penyelesaian”.

Informasi dari awak media, Rizal Muhammad Zaid pemilik akun @ijalzaid mengatakan, “Sedang pengurusan dan menunggu rilis dari pihak bea cukai.”

Sebelumnya, Rizal menceritakan pengalaman ketika Sekolah Luar Biasa-A Pembina Tingkat Nasional Jakarta mendapat kiriman bantuan media pembelajaran tunanetra dari Korea Selatan.

Namun, ketika barang itu sampai di Indonesia pada Desember 2022, pihak sekolah diminta membayar bea masuk sebesar Rp361 juta.

Pihak sekolah telah mengajukan keberatan atas pembayaran itu dan mencoba melengkapi dokumen yang dibutuhkan. Namun kendala koordinasi membuat barang tersebut tertahan.

Kronologi beli sepatu Rp10,3 juta, tapi kena bea masuk Rp31,8 juta

Radhika mengatakan dia membeli sepatu bermerek Adidas Adizero F50 itu seharga Rp10,3 juta, dengan ongkos kirim sebesar Rp1,2 juta.

Dia kemudian menerima tagihan dari bea cukai—yang disampaikan oleh DHL selaku jasa pengiriman—bahwa dia dikenakan bea masuk senilai Rp31,8 juta.

“Itu perhitungan dari mana? Ini kalau berdasarkan perhitungan gue, harusnya gue bayar itu sekitar Rp5,8 juta dan ini juga perhitungan yang gue pakai menggunakan aplikasi kalian [bea cukai],” kata Radhika dalam salah satu videonya kepada media.

Bea Cukai kemudian merespons keluhan itu. Menurut bea cukai, nilai pabean yang disertakan oleh jasa pengiriman adalah sebesar US$35,37 (sekitarRp562.736).

Namun setelah dicek, nilai pabeannya semestinya sebesar US$553,61 (sekitar Rp8.807.935).

Radhika dianggap kurang bayar. Oleh sebab itu, dia dikenakan sanksi.

Sanksi administrasi itu diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2019, yang menerangkan bahwa Bea Cukai menerapkan denda berjenjang untuk importir yang kurang bayar.

Besaran sanksinya mulai dari 100% hingga 1000%, tergantung kekurangan pembayaran bea masuk.

Dalam video selanjutnya, Radhika menyebut DHL “salah input” nilai kepabeanan, yang seharusnya US$500 namun ditulis menjadi US$35.

Radhika kemudian merasa dia dikenakan sanksi atas perbuatan “yang tidak pernah” dia lakukan. Dia mengeklaim telah melampirkan bukti transfer sebenarnya kepada jasa pengiriman.

Di dalam bukti yang dia tampilkan di videonya, terlihat sebuah nota pembelian yang melampirkan bahwa harga sepatu dan ongkos kirimnya sebesar €70 (sekitar Rp1,2 juta). Nominal di nota pembelian itu jauh lebih kecil dari harga sebenarnya. Radhika mengeklaim nota itu dia dapatkan dari DHL.

“Sebelum mendapat notifikasi pemberitahuan biaya bea masuk dari DHL, Bea Cukai meminta saya melampirkan beberapa berkas seperti link pembelian, invoice, bukti transfer dan NPWP,” kata Radhika.

“Nah di titik ini saya baru mendapatkan invoice sebesar €70 itu dari DHL untuk dapat saya lampirkan sebagaimana permohonan Bea Cukai,” sambungnya.

Dia kemudian melampirkan bukti transfer pembelanjaan senilai Rp11,5 juta sesuai nilai asli dan ongkos kirim yang sebenarnya dia bayarkan.

Dia membantah melakukan praktik “under invoicing” atau menurunkan harga barang dari nilai transaksi sebenarnya.

Radhika menduga itu dilakukan oleh penjual di negara asalnya. Sementara itu, dia mengeklaim DHL tidak pernah menginformasikan hal itu kepadanya sampai ada tagihan bea masuk dari Bea Cukai.

Radhika juga mengaku kesal karena bea cukai tidak mengonfirmasi hal itu dan langsung mengenakan sanksi administrasi.

Dia mengaku telah mengundang DHL untuk menyelesaikan permasalahan ini bersama-sama, namun DHL disebut meminta waktu untuk berkoordinasi dengan DHL Jerman terkait masalah nota pembelian sebesar €70 itu.

“Kami mengetahui situasinya dan telah menghubungi pelanggan kami untuk membantu dalam penyelesaian masalah tersebut. Kami selalu mengikuti undang-undang dan peraturan setempat yang relevan terkait dengan proses clearance barang kiriman,” kata DHL Indonesia melalui email kepada media.

Di sisi lain, Direktur Jenderal Bea Cukai, Askolani, mengatakan bahwa sanksi tersebut telah sesuai aturan.

Regulasi yang ditegakkan, kata dia, bertujuan “membuat efek jera untuk menyelamatkan penerimaan negara dan melindungi industri di dalam negeri”.

“Itu bisa merugikan negara kalau nilai barang yang disampaikan tidak sesuai dengan harga barang sebenarnya,” kata Askolani kepada wartawan pada Jumat (26/04).

Sudah tepatkah pengenaan bea masuk dan sanksi administratif tersebut?

Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan Bea Cukai sudah bertindak sesuai regulasi yang berlaku dalam kasus belanja online sepatu dari Jerman.

Sejauh ini, Fajry mengatakan aturan yang berlaku pun tidak mewajibkan petugas mengonfirmasi kepada importir sebelum menentukan nilai kepabeanannya.

Ini akhirnya membuat beberapa importir kaget oleh tagihan yang mereka terima. Sementara dari sisi masyarakat, ada hal-hal yang patut dipertimbangkan oleh Bea Cukai sebelum menetapkan nilainya.

“Publik berhak mendorong pemerintah merevisi regulasi agar konfirmasi tersebut wajib dilakukan agar kejadian seperti ini tidak terulang. Masyarakat atau importir berhak memberikan keterangan dari sisi mereka,” kata Fajry.

Sedangkan pada kasus bantuan alat belajar dari Korea Selatan, Fajry mengaku belum mengetahui secara pasti duduk perkaranya.

Namun apabila mengacu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70 Tahun Tahun 2012, hibah peralatan belajar untuk lembaga pengajaran semestinya bisa bebas bea masuk.

Sementara itu, pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Roy Valiant Salomo, memahami polemik yang bergulir di masyarakat.

Polemik ini, kata Roy, menggambarkan masih rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Direktorat Jenderal Bea Cukai karena rekam jejak institusi itu sendiri selama ini.

Misalnya gaya hidup mewah pegawainya yang sempat disorot pada tahun lalu.

“Bea Cukai selama ini tidak dipercaya karena praktik yang selama ini mereka lakukan juga. Dalam kondisi itu, tidak mudah menegakkan aturan,” kata Roy kepada BBC News Indonesia.

Bagaimana aturan belanja online dari luar negeri?

Belanja online dari lokapasar di luar negeri yang dikirimkan melalui kargo udara maupun laut dianggap sebagai impor barang menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199 Tahun 2019 tentang Ketentuan Kepabeanan, Cukai, dan Pajak atas Impor Barang Kiriman.

Nilai bea masuk untuk barang belanjaan tersebut bergantung pada jenis barangnya. Untuk produk selain tekstil, tas dan alas kaki dengan nilai US$3 hingga US$1.500 akan dikenakan bea masuk sebesar 7,5% dan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 11%.

Sedangkan untuk produk tekstil, tas dan alas kaki besaran bea masuknya berbeda-beda, tergantung pada Kode HS setiap barang.

Untuk sepatu yang dibeli oleh Radhika misalnya, bea masuknya dikenakan sebesar 30%. Dalam hal ini, importir diminta untuk menginformasikan secara jujur nilai barang yang diimpor.

Namun menurut Prianto Budi dari Tax Research Indonesia (TRI) ada banyak kasus di mana nilai barang yang diklaim tidak sesuai dengan yang sebenarnya.

Hanya saja dalam praktiknya, Prianto mengatakan kerap ditemukan praktik “under invoicing” yang dia sebut sebagai “musuh laten bea cukai”.

‘Under-invoicing’ adalah praktik yang dilakukan importir ketika mendeklarasikan bahwa harga barang yang diimpor lebih rendah dari harga sebenarnya. Dengan cara itu, maka harga bea masuk dan pajak impornya pun menjadi lebih rendah dari semestinya.

Praktik ini tidak cuma dilakukan oleh importir skala besar, namun juga oleh importir individu yang berbelanja daring atau membawa barang dari luar negeri.

Implikasi dari praktik ini, kata Prianto, adalah berkurangnya penerimaan negara dari bea masuk.

Menurut Prianto, Bea Cukai biasanya memiliki basis data terkait harga barang yang biasanya diimpor untuk memastikan kesesuaian laporan tersebut. Atau bisa juga Bea Cukai mengecek harga dari barang tersebut.

Lalu apa sanksinya? Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2019, Bea Cukai menerapkan denda berjenjang untuk importir yang kurang bayar. Besaran sanksinya mulai dari 100% hingga 1000% tergantung kekurangan pembayaran bea masuk.

Sanksi itulah yang dikenakan kepada Radhika.

Prianto mengatakan pelaku dalam kasus ini bisa siapa saja, entah itu pembeli selaku importir atau penjual. Namun di dalam aturan yang berlaku, importir lah yang dipandang bertanggung jawab.

“Begitu masuk ke custom clearance itu tetap tanggung jawab importir sehingga pada akhirnya ditagihkan ke importir,” kata Prianto.

Dia membenarkan bahwa memang ada celah-celah dalam aturan seperti ini yang memicu keberatan dari importir.

Bagaimana jika mendapat hibah?

Secara umum, hibah atau hadiah untuk keperluan pribadi tetap dikenakan bea masuk.

Namun Undang-Undang 17 Tahun 2006 sebenarnya menjamin bebas bea masuk untuk keperluan ibadah untuk umum, amal, sosial, kebudayaan atau untuk kepentingan penanggulangan bencana alam.

Dalam peraturan turunannya pun secara jelas disebutkan bahwa peralatan belajar mengajar untuk lembaga pengajaran termasuk yang dibebaskan bea masuk.

Itu artinya, alat belajar tunanetra yang dihibahkan kepada SLB-A Pembina Tingkat Nasional tidak semestinya dikenakan bea masuk, menurut Fajry.

Proses ruwet saat masyarakat keberatan

Dalam pengenaan bea masuk, Prianto Budi dari TRI mengatakan masyarakat dapat mengajukan keberatan, hanya saja prosesnya tidak mudah.

Keberatan dapat disampaikan dalam jangka waktu 60 hari sejak tanggal penetapan. Hanya saja, importir harus menyerahkan jaminan sebesar denda yang ditetapkan.

“Importir tetap bayar dulu. Atau kalau tidak bayar dulu harus ada jaminan. Kalau ternyata jaminannya benar, langsung cair,” kata Prianto.

Apabila masih keberatan, importir dapat mengajukan banding melalui pengadilan pajak.

Proses yang rumit itu menjadi salah satu yang membuat banyak importir individu akhirnya enggan mengajukan keberatan.

“Ibaratnya, kasusnya ayam tenaganya kuda. Tidak sebanding,” kata dia.

Terkait proses ini, Fajry Akbar dari CITA mengatakan masyarakat dapat menuntut agar pemerintah merevisi regulasi yang ada, terutama terkait upaya konfirmasi dalam situasi tertentu.

“Jika ada ketentuan yang dirasa memberatkan masyarakat maka publik berhak untuk menuntut revisi ketentuan tersebut, bukan memprotes sisi penegakan hukumnya,” kata Fajry.

Sejauh ini, peraturan yang ada tidak memuat kewajiban untuk mengonfirmasi.

Namun dia menekankan bahwa hal itu perlu dikaji lebih lanjut, terutama terkait dampaknya terhadap beban administrasi di Bea Cukai.

Kurang sosialisasi dan rendahnya kepercayaan masyarakat

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Roy Valiant Salomo, mengatakan kecaman yang muncul di media sosial terhadap Bea Cukai menunjukkan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi tersebut.

Sehingga, ketika Bea Cukai mencoba menegakkan aturan pun justru memicu kecaman.

Itu dipicu oleh rekam jejak kasus-kasus di Bea Cukai sendiri yang membuat masyarakat meragukan penegakan aturannya.

Dia mencontohkan ketika mantan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengungkap skandal emas senilai Rp189 triliun di Bea Cukai.

Termasuk atas terungkapnya kasus pada 2019 lalu ketika CEO Garuda Indonesia diketahui menyelundupkan Harley dan sepeda Brompton.

“Itu lagi-lagi membuat trust masyarakat ke lembaga pemungut atau cukai jadi buruk, akhirnya ketika mereka menegakkan hukum, prosesnya menjadi tidak mudah,” kata Roy.

Roy juga menilai bahwa polemik ini menunjukkan lemahnya sosialisasi pemerintah terhadap aturan mengenai bea masuk belanja daring.

“Sosialisasinya harus cukup masif, dalam arti menjangkau masyarakat yang berpotensi terdampak oleh peraturan-peraturan itu,” kata dia.

Di sisi lain, Roy juga mengingatkan agar masyarakat taat dan jujur terhadap aturan tersebut untuk menghindari risiko terkena denda.

Share.

Comments are closed.