Surabaya, Teritorial.com – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mendesak Jenderal Listyo Sigit Prabowo Kapolri menindak aksi puluhan Brimob Polda Jawa Timur yang bersorak-sorak di depan ruang sidang Tragedi Kanjuruhan, Selasa (14/2/2023).
Desakan itu muncul usai pola pengamanan tak biasa yang dilakukan pada sidang keduabelas Tragedi Kanjuruhan, Selasa (14/2/2023).
Tak hanya melakukan pengamanan pagar betis dengan memblokade lorong penghubung ruang sidang dengan ruang tunggu dan ruang jaksa, tapi puluhan Brimob berteriak-teriak jargon “Brigade” yang disuarakan serentak dan keras bahkan ada personel yang sengaja melingkarkan jari tangan di mulut agar suaranya paling nyaring.
Teriakan itu dibunyikan beberapa kali saat jaksa melintasi barisan mereka. Kemudian dibunyikan lagi saat tiga terdakwa anggota Polri menyusul jaksa masuk ruang sidang.
“Ruang sidang dipenuhi oleh anggota Brimob dan anggota Polri lainnya. Sebagaimana dalam video yang beredar di media sosial, puluhan anggota Brimob bertindak intimidatif dengan berteriak dan menyoraki para Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang akan memasuki ruang sidang Cakra bersamaan dengan tiga terdakwa anggota Polri kasus tragedi Kanjuruhan yaitu AKP Hasdarmawan, Kompol Bambang Sidik Achmadi dan AKP Wahyu Setyo Pranoto. Pihak keamanan pengadilan bahkan sampai berkali-kali mengingatkan puluhan anggota Brimob ini untuk tidak membuat kegaduhan saat persidangan,” tulis YLBHI dalam keterangan resminya.
Berdasarkan informasi di lapangan, jaksa merasa terganggu dengan tindakan pasukan Brimob. Rahmat Hary Basuki salah satu jaksa yang datang di urutan terakhir langsung mengecam pengacara tiga terdakwa dengan mengacungkan tangan.
“Saya akan laporkan. Ini sudah tidak kondusif,” katanya, Selasa (14/2/2023) sore.
YLBHI menilai, dampak sikap intimidatif yang dilakukan pasukan sebelum sidang sesi tiga usai skors dua kali dan akan dimulai lagi sekitar pukul 15.45 WIB itu, membuat JPU tidak mengajukan pertanyaan apa pun pada saksi ahli pidana yang dihadirkan pengacara di ruang sidang. Jaksa hanya mengajukan keberatan ke hakim karena pengacara dinilai menyimpulkan fakta persidangan.
“Tindakan tersebut dinilai merupakan bentuk intimidasi dan unjuk kekuasaan yang dapat mempengaruhi proses persidangan, apalagi persidangan kali ini sudah memasuki tahapan persidangan yang paling krusial yakni tahap pembuktian dan penuntutan. Dampak dari tindakan yang dinilai intimidatif tersebut pada faktanya, saat pemeriksaan ahli, menjadikan JPU sama sekali tidak mengajukan pertanyaan melainkan hanya mengajukan keberatan kepada majelis karena semua pertanyaan penasihat hukum bersifat menyimpulkan fakta persidangan secara sepihak,” bunyi keterangan resmi YLBHI.
Aksi puluhan Brimob, menambah panjang daftar kejanggalan sidang Tragedi Kanjuruhan di Pengadilan Negeri Surabaya.
“Sejak awal, pengungkapan kasus tragedi Kanjuruhan ini penuh dengan kejanggalan, mulai dari kepentingan keluarga korban yang kurang diperhatikan dalam proses persidangan, pengalihan gelaran persidangan ke PN Surabaya, diterimanya Anggota Polri sebagai Penasehat Hukum tiga terdakwa yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, hingga pembatasan terhadap akses media dalam meliput siaran langsung proses persidangan,” keterangan lanjutan.
YLBHI, bersama sejumlah lembaga bantuan hukum dan organisasi mendesak Kapolri dan Kapolda Jawa Timur bertindak.
“Oleh karena itu kami mengecam tindakan anggota Polri yang arogan, intimidatif, dan mengarah pada penghinaan terhadap pengadilan dan mendesak Kapolri dan Kapolda Jawa Timur untuk menghentikan tindakan pengamanan yang mengarah kepada penghinaan terhadap pengadilan (Contempt of Court) melalui sikap perilaku aparat yang mengganggu jalannya imparsialitas dan integritas jalannya persidangan melalui bentuk tindakan-tindakan intimidatif. (Kemudian) memberikan sanksi yang tegas terhadap dugaan pelanggaran kode etik (oleh Propam) bagi anggota Brimob yang melakukan penghinaan terhadap Pengadilan (Contempt of Court) pada saat berlangsungnya proses persidangan, serta melanjutkannya pada proses penyidikan ketika terindikasi tindak pidana contempt of court,” tutup keterangan resmi, Rabu (15/2/2023).
Sekedar diketahui, sidang keduabelas Tragedi Kanjuruhan yang menghadirkan tiga saksi fakta manajemen dan ofisial Persebaya serta satu saksi ahli pidana yang diajukan pengacara terdakwa anggota Polri, diwarnai pengamanan ketat.
Pengamanan pagar betis puluhan Brimob di lorong penghubung ruang sidang dengan ruang tunggu dan ruang jaksa baru terlihat kali itu, setelah 11 persidangan sebelumnya tidak pernah dilakukan.
Aksi mereka meneriakkan jargon “Brigade” saat jaksa lewat dianggap mengintimidasi. Sejumlah security PN Surabaya pun langsung bertindak melarang mereka melakukan pengamanan dekat ruang sidang. Imbauan itu diabaikan. Mereka tetap meneriakkan jargon beberapa kali. Sampai akhirnya pasukan itu pergi karena ada instruksi arahan pimpinan.
Kompol Muhammad Fakih Kasi Humas Polrestabes Surabaya menyebut, tindakan sorak-sorak yang dilakukan pasukan, tanpa ada perintah pimpinan.