Intensitas Perang Dagang antara Amerika Serikat – Cina Mereda, Indonesia Diminta Jangan Lengah

0

Teritorial.com – Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan Cina terlihat semakin mereda setelah pertemuan kedua negara pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 di Jepang. Hal tersebut dapat dilihat dari sikap Presiden AS Donald Trump yang memutuskan untuk tidak menaikan tarif tambahan bagi produk impor dari Cina yang potensi nilainya mencapai 300 miliar dolar AS.

Nuansa gencatan senjata tersebut juga dapat dilihat dari keputusan Trump membolehkan perusahaan telekomunikasi Cina, Huawei membeli produk dari AS lagi. Meskipun tak langsung menghapus tarif yang sebelumnya sudah dikenakan, Trump membuka peluang agar AS-Cina melakukan negosiasi.

Namun demikian, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira berpendapat bahwa meredanya tensi antara AS-Cina ini sifatnya sementara. Ia memperkirakan eskalasinya masih akan berlanjut sampai 2020. Oleh karena itu ia meminta agar pemerintah Indonesia tidak terlena

Menurut Bhima, usai KTT G-20, AS masih belum menunjukkan tanda-tanda mengalah dengan menurunkan tarif bea masuk produk Cina. Bahkan negosiasi antara kedua negara masih bisa disebut alot. Bhima memperkirakan kinerja ekspor Indonesia masih akan mengalami tekanan

Akibat kondisi ini, Bhima yakin perdagangan kedua negara belum bisa selancar dulu sehingga permintaan bahan baku manufaktur AS dan Cina akan tertahan. Imbasnya, negara seperti Indonesia masih mengalami perlambatan pada ekspornya.
“Selama tarif bea masuk belum turun signifikan, permintaan bahan baku dan komoditas dari Indonesia untuk manufaktur AS dan Cina akan menurun,” kata Bhima sebagaimana dikutip dari Tirto.id

Bhima menjelaskan, karena eskalasinya masih dapat berlanjut, Indonesia masih akan dibayangi dengan bahaya melebarnya defisit neraca perdagangan sampai akhir 2019. Jumlahnya ditaksir akan mencapai 10 miliar dolar AS, lebih tinggi dari 2018 yang bernilai 8,5 miliar dolar AS. “Dampaknya kinerja ekspor masih akan tertekan sampai akhir tahun 2019. Defisit perdagangan diperkirakan menembus 10 miliar dolar AS,” ucap Bhima.

Kekhawatiran Bhima tentang perang dagang juga ditangkap oleh Bank Dunia. Akibat risiko eskalasi ketegangan perdagangan global, Bank Dunia pun memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 5,1 persen pada 2019 dan 5,2 persen di 2020. Padahal, pada September 2018, proyeksi pada 2019 dan 2020 masih 0,1 persen lebih tinggi.

Meskipun Bank Dunia mencatat adanya kenaikan konsumsi pemerintah dan masyarakat akhir-akhir ini, hal itu dianggap hanya cukup untuk mempertahankan ekonomi menjadi stabil. Kondisi masih diperburuk dengan capaian investasi Indonesia yang jatuh dari tingkat tertingginya selama beberapa tahun terakhir.

Hal senada diungkapkan Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), Mohammad Faisal. Ia menilai ketegangan perang dagang AS-Cina yang mereda hanya bersifat sementara. Sehingga, menurutnya, tekanan pada pertumbuhan ekonomi global dan perdagangan dunia masih jauh dari reda.

Faisal menyarankan agar pemerintah mengantisipasi adanya pelemahan ekspor Indonesia menyusul banyaknya pintu impor negara tetangga yang tertutup akibat perlambatan ini. Paling tidak, kata Faisal, Indonesia mesti menahan laju impor. Sebab Faisal menilai impor Indonesia kerap kali tak ikut melambat saat kinerja ekspor sedang buruk, padahal dampaknya bisa memperburuk neraca perdagangan.

“Kalau masalah AS-Cina bikin perdagangan dunia melambat, impor melambat. Tapi masalahnya kita pelemahan sisi ekspornya lebih tajam dari pelemahan impor karena belum mampu kontrol,” ucap Faisal. Di sisi lain, Menurut Faisal, berlanjutnya perang dagang ini perlu disikapi Indonesia dengan lebih giat memanfaatkan tren perpindahan industri dari Cina ke negara ASEAN.

Meskipun sejumlah industri memang lebih banyak berpindah ke Vietnam, Faisal yakin masih ada porsi industri yang bisa diambil Indonesia. “Tinggal sejauh mana kita mampu memperbaiki iklim usaha manufaktur kita supaya ada relokasi. Pemerintah harus bisa fokuskan masuk investasi manufaktur bukan investasi umum,” ucap Faisal.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya juga menyadari bahaya ini. Pasalnya, KTT G-20 memang sepakat untuk segera mengakhiri perang dagang, tetapi masalahnya tak ada langkah dan bagaimana cara untuk mengakhirinya. Akibatnya, masih ada ketidakpastian yang besar karena hasil KTT G-20 di Osaka, Jepang ternyata belum banyak membuahkan jalan keluar bagi perang dagang AS-Cina.

Padahal, International Monetary Fund (IMF) sudah lama memperingatkan bahwa proyeksi pertumbuhan ekonomi 2019 dari 3,5 persen akan menurun menjadi 3,1 persen karena dampak eskalasi ini. “Semua sepakat perlu upaya mengurangi ketegangan perdagangan internasional, namun belum ada kesepakatan bagaimana caranya,” kata Sri Mulyani ketika bersama Menlu Retno Marsudi di Osaka, Jepang, Jumat (28/6/2019) seperti dikutip Antara.

Sumber: Tirto.id

Share.

Comments are closed.