Lima Jenderal Berlaga di Pilkada 2018, Ini Tanggapan Pengamat

0

Jakarta, Teritorial.com – Perhelatan Pilkada serentak 2018 tahun ini akan diramaikan oleh sejumlah Jenderal TNI dan Polri. Perwira Tinggi di jajaran TNI Polri tersebut rela melepaskan karir dan jabatan di institusinya demi bisa menjadi kepala daerah.

‎Sejauh ini sudah ada lima jenderal aktif yang siap berlaga pada Pilkada 2018. Mereka adalah Letnan Jenderal TNI Edy Rahmayadi yang bakal maju sebagai bakal Calon Gubernur Sumatera Utara. Kemudian, dari jajaran Polri ada Irjen Safaruddin yang digadang-gadang akan maju di Pilkada Kalimantan Timur. Lalu Irjen Anton Charliyan yang berniat maju di Pilkada Jawa Barat. Selanjutnya adalah Irjen Murad Ismail yang maju di Pilkada Maluku 2018 dan yang terakhir Irjen Paulus Waterpauw yang akan maju dalam pemilihan Gubernur Papua.

Dari rilis berita yang diterima teritorial.com selasa (9/1/2018), Pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago mengungkapkan, dirasa memiliki bekal kepemimpinan dan ketegasan selama berstatus TNI Polri, menyebabkan beberapa partai politik berminat dan segera meminang sejumlah jenderal aktif maupun yang sudah purnawirawan untuk berlaga dalam konstelasi Pilkada 2018 ini.

Citra gaya kepemimpinan yang cenderung garis komando dapat berdampak positif dan negatif. “Lantas muncul persoalan bagaimana mereka menyesuaikan dengaen ritme tata cara kerja sipil, kepemimpinan latar belakang sipil dengan pola kerja garis putus-putus, egaliter dan berbasis konsensus,” ujar Pangi dalam rilisnya yang diterima Kricom, Selasa (9/1/2018).

Terlepas dari latar beralakang sebagai aparat negara, Pangi mengakui bila demokrasi memberi peluang bagi setiap warga negara untuk ikut berkontestasi. Termasuk, dari kalangan TNI atau Polri yang sudah pensiun atau purnawirawan. Sebab, bagaimanapun mereka adalah warga negara yang mempunyai hak untuk memilih dan dipilih.

“Namun yang jadi soal adalah anggota TNI dan Polri yang masih aktif. Mereka belum wajib pensiun karena belum terdaftar sebagai pasangan calon, namun sudah berselancar dengan melakukan manuver politik dan curi start kampanye terselubung dengan memakai seragam prajurit,” kritiknya.

Pengamat politik itu juga menyatakan kekhwatirannya jika, para Jenderal TNI dan Polri tersebut masih melibatkan unsur-unsur TNI Polri yang merupakan lembaga bersih dari campur tangan politik untuk kepentingan pribadi. “Dan yang jelas tak boleh adalah menggunakan jejaring institusi militernya untuk dijadikan sebagai komoditas politik pemenangan,” tambahnya.

‎Direktur Eksekutif Voxpol Center Reseach and Consulting ini seraya mengingatkan kembali bahwa terjunnya TNI dan Polri ke ranah politik praktis bukan fenomena baru. Saat era demokrasi terpimpin ada segitiga emas kekuatan politik, yaitu Soekarno, PKI, dan Angkatan Darat. “Akan tetapi, saat kekuatan politik Soekarno dan PKI melemah, muncul kekuatan pemenang, yaitu Angkatan Darat,” jelasnya.

Sejak itu militer mulai berpolitik praktis lewat kendaraan sekber Golkar. Mereka tidak mengaku sebagai partai politik namun mendukung pemerintah, mesin Golkar pada waktu itu digerakkan para jenderal. Oleh karena itu, berbicara sistem politik Indonesia tidak bisa lepas dari peran militer dalam kancah politik itu sendiri.

Pangi mewanti-wanti agar partai politik tidak coba-coba bermain mata dengan prajurit aktif, dengan cara menarik-narik dan menggoda TNI untuk masuk ke gelanggang politik. Termasuk tidak menarik-narik, menggoda, atau merayu-rayu Aparatur Sipil Negara (ASN) ke ranah politik praktis. “Karena Ini pertaruhan yang berbahaya dan tidak main-main. Bagaimana kita menjaga dan mengingatkan kembali agar TNI/Polri dan ASN menjaga netralitas. Ciri-ciri keterlibatan militer dalam politik patut kita curigai,” tegasnya.(SON)

Share.

Comments are closed.