Sepuluh Pasal RKHUP Dinilai Ancam Kebebasan Pers dan Bisa Kriminalisasi Jurnalis

0

Jakarta,Teritorial.Com – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menilai sedikitnya 10 pasal dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKHUP), yang akan disahkan DPR pada akhir September mendatang, mengancam kebebasan pers dan mengkhawatirkan adanya kriminalisasi wartawan.

Dalam RKHUP  tersebut terdapat satu pasal yang memuat ancaman penjara bagi orang yang dapat dianggap menghina Presiden.

Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia, Sasmito, menilai 10 pasal ini merupakan pasal karet atau dapat digunakan secara subjektif dan sewenang-wenang. “Kami khawatir kriminalisasi terhadap wartawan semakin banyak,” ujar Sasmito seperti dikutip BBC Indonesia, Selasa (03/09).

Sejak tahun 2016, AJI telah melayangkan protes ke DPR untuk mencabut pasal-pasal yang dapat mengancam kebebasan pers. Namun, DPR tetap mempertahankan sejumlah pasal yang diprotes oleh para komunitas pers.

“Kita tidak melihat upaya dari pemerintah dan DPR untuk merawat kebebasan pers. Ini langkah yang kontradiktif terhadap kebebasan pers di Indonesia,” katanya.

AJI mencatat setidaknya terdapat 16 kasus kriminalisasi terhadap jurnalis dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Para jurnalis umumnya dituduh menyebarkan fitnah dan penyebaran nama baik, menggunakan UU informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Dewan Pers juga menyatakan penolakan senada atas sejumlah pasal yang mengancam kebebasan pers. Anggota Dewan Pers, Hendry Cahirudin Bangun menyatakan bahwa lembaganya tidak akan mengikuti RKUHP jika kebijakan ini tetap disahkan. Dewan Pers akan mengacu pada Undang-Undang Pers untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik.

“DPR sudah ketinggalan zaman, kalau masih (melihat) kinerja atau pekerjaan jurnalistik itu mengancam. Jadi, kami tentu saja berharap itu tidak jadi (disahkan) dilakukan,” kata Hendry sambil menambahkan dalam waktu dekat Dewan Pers akan menyampaikan kajian terkait pasal-pasal bermasalah ini ke DPR.

Sementara itu, Pakar Hukum Pidana dari Univeritas Trisaksi Abdul Fickar Hadjar menilai RKUHP ini sebagai produk kebijakan “tindak pidana pers”. Menurutnya jurnalis atau hal terkait aktivitas jurnalistik tidak bisa langsung dipidanakan.

“Mestinya harus hati-hati merumuskan atau mengkriminalisasi perbuatan yang mestinya bukan perbuatan kriminal… Karena memberitakan sendiri, itu bagian dari unsur demokrasi,” kata Fickar, Selasa (03/09).

Selanjutnya Fickar menilai perlu adanya pasal yang menjembatani, sebagai jaminan dari pemerintah terhadap kebebasan pers, berekspresi dan menyampaikan pendapat.

“Pasal yang menghubungkan bahwa, ketika itu (pidana) dilakukan oleh pers, maka dia harus wajib diselesaikan dulu dengan UU Pers,” katanya.

Selama ini, menurut Fickar, aturan dalam UU Pers digunakan untuk menyelesaikan sengketa produk jurnalistik berdasarkan kebijakan dari kepolisian.

Meskipun mendapatkan kritik dan protes, anggota komisi hukum DPR, Taufiqulhadi memastikan bahwa RKUHP akan tetap disahkan dalam rapat paripurna akhir bulan September mendatang.

“Kalau memang ada pasal-pasal yang kita anggap belum sempurna, maka itu ada kesempatan diperbaiki, apakah kita lakukan judicial review. Setelah disahkan, selalu ada kita untuk memperbaikinya,” ujar Taufiq.

Dari sederet pasal yang dikritik Komunitas Pers, DPR mungkin hanya akan menambahkan keterangan Pasal 281 terkait dengan pemberitaan yang bisa mempengaruhi hakim. Taufiq menambahkan, dasar kemunculan pasal ini adalah menjaga wibawa pengadilan, terutama hakim.

Sementara itu, Pasal 291 dan 241 mengenai penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, DPR beralasan hal tersebut untuk menjaga kewibawaan kepala negara.

Share.

Comments are closed.