Dinamika Industri Pertahanan Nasional Ditengah Tren Impor Alutsista

0

Perkembangan teknologi militer diiringi dengan dinamika tantangan dan acaman terhadap stabilitas keamanan internasional yang mengharuskan pemerintah Indonesia berfokus pada penambahan jumlah belanja alutsista untuk kepentingan keamanan nasional. Adapun nuansa konfliktual yang mewarnai kawasan Indo-Pasifik mulai dari nuklir semenanjung Korea, konflik Luat Cina Selatan, hingga persaingan strategis antara Amerika Serikat (AS) dan Cina diasumsikan sebagai faktor eksternal yang menjadikan Indo-Pasifik sebagai kawasan dengan importir alutsista terbesar di dunia saat ini. Dalam perkembangan tren modernisasi alutsista global, Indonesia kini telah menempati urutan ke-10 sebagai negara importir alutsista terbesar di dunia.

Keberadaan Indonesia menjadi negara top-ten dunia soal belanja alutsista nampaknya menjadi hal yang mustahil jika terjadi tanpa diiringi oleh peningkatan alokasi anggaran pertahanan. Dilihat dari tren peningkatan yang ada, Kementerian Pertahanan RI atas persetujuan anggaran DPR RI Komisi I tahun 2015 mendapat alokasi sebesar Rp102.7 triliun, setahun kemudian peningkatan tahun 2016 berkisar Rp 104.2 triliun, dan pada tahun 2017 berkisar Rp 106.8 triliun. Menyadari akan defisit nilai tukar Rupiah yang terjadi lantaran penguatan nilai tukar mata uang USD maka baru saja tahun 2018 ini Kemhan mendapat kucuran anggaran pertahanan senilai Rp 108.7 triliun. (tradingeconomics, 2017)

Pemaksimalan target 30% pencapaian Minimum Essential Force (MEF) Jilid II tentunya menjadi kiblat utama bagi penggunaan aloksi budget tersebut. Untuk itulah sejumlah pengadaan alutsista telah dituangkan ke dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2017. Dari berbagai sumber yang berhasil dihimpun, pengadaan alutsista TNI dalam rangka pemenuhan MEF Jilid II yang tertuang dalam Rencana Kerja Pemerintah tahun 2017 di bidang pertahanan adalah:

1). Kontrak efektif untuk 22 jenis Alutsista Strategis.
2). Kontrak efektif untuk 20 jenis Alutsista produksi industri pertahanan.
3). 24 unit panser pengganti Sarasen dan Saladin.
4). 20 Unit meriam Artileri Medan (Armed).
5). Pengadaan lanjutan helikopter Apache.
6). 8 jenis munisi senjata KRI
7). Satu Satbak rudal jarak sedang.
8). 14 unit rudal air to air.
9). 55 unit kendaraan taktis (Rantis).

Pengadaan alutsista di atas, dilakukan bersamaan dengan penguatan industri pertahanan, dengan sasaran:

1) Pengembangan Pesawat KFX/IFX
2) Pembuatan prototype medium tank
3) Transfer of Technology Rudal C-705
4) Habituation roket R-Han 122 B

Dari jumlah total kalkulasi secara keseluruhan anggaran pertahanan yang dikeluarkan untuk belanja alutsista dari tahun 2010-2017, naik hingga 155%. (katadata.co.id, 2016) Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), Rabu (13/2/2018), alutsista kini menempati produk nonmigas yang angka impornya naik paling signifikan dalam setangah dekade terakhir. Dalam setahun terakhir saja persentase kenaikan impor Alutsista hingga menyentuh angka 677% atau dari 13,3 juta USD pada Desember 2017 menjadi 103,4 juta USD di awal Januari 2018. Jika diperhatikan maka penyerapan anggaran belanja untuk impor alutsista melebihi 87% dari seluruh total anggaran belanja pertahanan yang dikeluarkan oleh Kemhan.

Berdasarkan rilis data Lembaga independen internasional pengkaji bidang militer, Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), impor alutsista oleh Indonesia bertujuan untuk peremajaan sekaligus pemenuhan kebutuhan alutsista dalam negeri terbanyak berasal dari Cina (648 unit), Inggris (505 unit), dan Amerika Serikat (462 unit). Seiring dengan komitmen pemerintah memperkuat sektor maritim, belanja alutsista Angkatan Laut sebanyak 977 unit atau 39,7%, hampir mengimbangi Angkatan Darat sebanyak 1.118 unit atau 45,5%. Kemudian Lima jenis alutsista paling banyak diimpor Indonesia adalah C-705, Starstreak, FGM-148 Javelin, aAGM-114K HELLFIRE, dan Mistral. Dua jenis pertama merupakan jenis rudal mencapai 500 unit untuk masing-masing jenis (katadata.co.id, 2016).

Walaunpun data terakhir menunjukan bahwa Indonesia merupakan importir alutsista dengan jumlah yang cukup besar, namun bukan berarti hal tersebut akan berlangsung terus-menerus. Program pengembangan kemandirian industri pertahanan dalam negeri yang telah ditegaskan oleh Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) sejak tahun 2015 lalu, tentunya mengawali lembaran baru di sektor industri pertahanan. Kebijakan inilah yang kemudian menelurkan kesempatan bagi seluruh kalangan pelaku industri pertahanan nasional baik yang dikelola BUMN maupun Swasta.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012, industri pertahanan adalah industri nasional yang terdiri atas badan usaha milik negara dan badan usaha milik swasta baik secara sendiri maupun berkelompok yang ditetapkan oleh pemerintah untuk sebagian atau seluruhnya menghasilkan alat peralatan pertahanan dan keamanan, jasa pemeliharaan untuk memenuhi kepentingan strategis di bidang pertahanan dan keamanan yang berlokasi di wilayah NKRI. Khususnya Pasal 43 dan 44 yang menyatakan bahwa pengguna wajib menggunakan alat peralatan pertahanan dan keamanan produksi dalam negeri, menjadi inspirasi dimana semua pihak dapat bersumbangsih terhadap kemajuan industri pertahanan di Indonesia.

Isi undang-undang tersebut layaknya kepastian hukum yang kemudian mendukung pembentukan platform yang juga atas persetujuan Kemhan seperti Persatuan Industri Pertahanan Swasta Nasional (Pinhantanas) yang berdiri sejak tahun 2017 lalu dibawah SK Kementerian Hukum dan Ham. Pinhantanas kini telah beranggotakan 40 Perusahaan swasta yang bergerak di bidang industri pertahanan. Selain beberapa industri pertahanan dibawah BUMN seperti PT DI, PT PINDAD, PT PAL, kini seluruh stake holders yang tergabung dalam Pinhantanas tengah berusaha keras bagaimana mengoptimalkan pencapaian 30% target MEF Jilid II, yang kemudian berlanjut pada rencana strategis MEF Jilid III hingga tahun 2024.

Sejalan dengan ucapan Menhan Ryamizard Ryacudu dalam Rapat Pimpinan Kementerian Pertahanan bulan Januari lalu, soal bagaimana memaksimalkan potensi industri pertahanan sebagai ajang penyumbang devisa negara . Maka yang terpikirkan selanjutnya adalah kemapuan dalam memproduksi output tertentu dalam jumlah besar dengan biaya produksi yang efisien, fleksibel dan bernilai ekonomis. Memajukan industri pertahanan dalam negeri yang kemudian secara perlahan meninggalkan budaya impor secara bertahap, sama halnya dengan pemaksimalan penyerapan anggaran pertahanan untuk kembali dikelola dalam negeri

Menumbuhkan kemandirian serta mengurangi sisi ketergantungan terhadap pihak eskternal menjadi salah satu alasan utama. Berdasarkan data BPS tahun 2011, dimana tahun 2010 total pemasukan dari pemesanan terhadap produk-produk pertahanan hasil industri pertahanan nasional mencapai lebih dari 53 juta USD atau sertara dengan Rp 710 miliyar. Nilai tersebut meliputi pemesanan terhadap pesawat CN 235-110 produksi PT Dirgantara Indonesia senilai 49,5 juta USD oleh Angkatan Laut Korea Selatan dan senjata serta amunisi produksi PT Pindad senilai 3,8 juta USD oleh negara Philipina, Thailand, AS, Singapore dan Timor Leste. Sementara berdasarkan data Kementerian Negara BUMN tahun 2008 tentang profil BUMN industri strategis, total laba bersih tujuh BUMN sampai 2008 sebesar Rp 577,8 miliar atau meningkat dari 2007 yang totalnya sebesar Rp374,6 miliar. Adapun BUMN yang merealisasikan laba bersih pada 2008 yaitu PT Krakatau Steel Rp 459,6 miliar, PT Dahana Rp 55,0 miliar, PT INKA Rp 32,4 miliar, PT LEN Industri Rp 11,8 miliar, PT DPS Rp10,5 miliar, PT Pindad Rp 5,8 miliar, dan PT Barata Indonesia Rp 2,6 miliar.

Jika memang benar adanya asumsi yang beredar mengenai total peningkatan 7% pemasukan dari pemesanan terhadap produk-produk pertahanan yang dihasilkan industri pertahanan nasional tiap tahunnya, maka berselang 8 tahun setelahnya total sumbangsih industri pertahanan nasional terhadap devisa negara kurang lebih berkisar Rp 1.4 triliun. Kemungkinan pencapaian tersebut tentunya masih jauh dari kata signifikan jika dibandingkan dengan total anggaran pertahanan Indonesia yang pada tahun ini saja mencapai Rp 108,7 triliun. Ironinya lebih dari 85% total anggaran yang ada digunakan untuk impor alutsista.  Dari perhitungan kasar tersebut maka sangatlah logis jika saat ini Indonesia menempati top-ten sebagai negara pengimpor alutsista terbesar di dunia.

Adapun setelahnya, jika pengembangan kemandirian industri pertahanan nasional bukanlah isapan jompol belaka, maka sesuai dengan pencapaian target resntra 30% MEF Jilid II yang nantinya akan berlanjut hingga Jilid III pada tahun 2024, menekan total impor alutsista menjadi 60% dari keseluruhan penyerapan anggaran pertahanan sudah merupakan bentuk presatasi cermerlang. Hal inilah yang nantinya dapat merepresentasikan keberhasilan program pengembangan industri pertahanan nasional sebagaimana yang disuarakan oleh Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP). Adapun selain fokus terhadap penguasaan teknologi militer, pemahaman akan kemendirian industri pertahanan dalam negeri seharusnya sudah menjadi visi utama baik oleh TNI sebagai pihak pengguna, Kemhan sebagai eksekutor maupun DPR RI Komisi I yang bertanggungjawab soal pengesahan anggaran belanja pertahanan.

Sony Iriawan S.IP, M.Si (Han) Pemerhati Studi Geopolitik dan Keamanan Internasional.

Referensi
katadata.co.id. (2016, Desember ). 2010-2017, Anggaran Pertahanan RI Naik 155 Persen. Retrieved 3 13, 2018, from databoks.katadata.co.id: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2016/12/08/2010-2017-anggaran-pertahanan-ri-naik-155-persen

katadata.co.id. (2016, Juni 6). Indonesia Importir Senjata ke-2 Terbesar Asean. Retrieved Maret 13, 2018, from katadata.co.id: https://katadata.co.id/infografik/2016/06/06/indonesia-importir-senjata-ke-2-terbesar-asean

tradingeconomics. (2017, Desember). Indonesia Military Expenditure. Retrieved Maret 13, 2018, from tradingeconomics.com: https://tradingeconomics.com/indonesia/military-expenditure

Share.

Comments are closed.