Menanti Pertemuan Donald Trump dan Kim Jong-Un

0

Presiden Amerika Serikat (AS), Donald J. Trump telah menerima undangan dari Perdana Menteri Korea Utara, Kim Jong-Un untuk menghadiri pertemuan (summit) dalam membahas “perselisihan kedua rezim” terkait program nuklir dan misil. Melalui pejabat seniornya, Jong-Un menyampaikan pertemuan tersebut direncakanan pada bulan Mei 2018, sedangkan untuk tanggal dan tempatnya masih belum ditentukan (Borger, 2018).

Apabila pertemuan tersebut dilaksanakan, hal ini akan menjadi pertemuan pertama antara pemimpin kedua negara tersebut. Sebagaimana situasi yang berkembang, Pyongnyang telah lama mencari momentum untuk mengadakan pertemuan dengan AS guna merefleksikan bagaimana status Korea Utara yang dipandang sebagai kekuatan militer kawasan (regional military power). Sebelumnya, Bill Clinton pernah hampir menyetujui untuk menemui ayah Jong-Un, Kim Jong-Il (Presiden Korea Utara sebelumnya) pada tahun 2000, namun persetujuan belum sempat dibuat sampai Bil meninggalkan kantornya pada Januari 2001.

Pejabat dari White House menganggap undangan yang dilayangkan Trump sebagai salah satu poin kemenangan dan keberhasilan dalam kebijakan “maximum pressure”, dimana AS tidak akan memberi keringanan dan tetap mempertahankan sanksinya sebelum Korea Utara memulai pelucutan senjatanya. Adapun keputusan Trump disampaikan oleh Menteri Laur Negeri AS, Rex Tillerson yang mengatakan bahwa Trump akan mengikuti pertemuan tersebut dengan beberapa kondisi setelah melihat bagaimana keseriusan Jong-Un dalam pembicaraannya dengan delegasi Korea Selatan yang berkunjung (Baker, 2018).

Menariknya, Chung Eui-yong, Direktur Keamanan Nasional Korea Selatan mengatakan bahwa dirinya dan Suh Hoon, Kepala Badan Intelijen Nasional Korea Selatan telah menyampaikan pesan yang diberikan oleh Pemimpin Korea Utara pada White House dalam minggu ini terkait rencana pertemuan tersebut saat kunjungannya di Pyongnyang. Namun, hal tersebut dibantah oleh pejabat White House bahwa mereka belum menerima surat apapun.

Terlepas dari kejanggalan tersebut, Pihak Korea Selatan menyampaikan hasil pertemuannya dengan Jong-Un, bahwa Jong-Un menawarkan pemberhentian sementara uji coba nuklir dan misil balistik selama proses menuju pertemuan serta memungkinkan untuk denuklirisasi apabila yakin bahwa negaranya tidak menghadapi ancaman militer dan rezim pemerintahannya tetap berlangsung dengan aman.

Trump sendiri mengkonfirmasi kunjungan tersebut dengan cuitannya di Twitter sembari menekankan sanksi AS akan tetap berlaku terhadap Korea Utara sampai kesepakatan denuklirisasi telah dicapai.

Respon yang cukup reaktif Trump dalam menerima undangan tersebut tentu menimbulkan pertanyaan, apa yang akan disediakan di meja negosiasi? Tarik ulur sanksi? Normalisasi hubungan? Atau perjanjian perdamaian? Namun, sebagaimana kebijakan “maximum pressures” Trump yang tengah berlangsung, dapat dipahami bahwa Trump sudah sangat jelas sejak awal tidak mempersiapkan untuk mengakomodir kepentingan Korea Utara yang menginisiasi pertemuan. Namun, Trump berniat memenuhi undangan tersebut untuk bertemu dan membiarkan (dimana sangat diharapkan) agar Korea Utara mengimplementasikan ucapan yang disampaikan pada delegasi Korea Selatan.

Pejabat senior White House juga menyampaikan bahwa konteks kali bukanlah negosiasi, dimana salah satu faktor Trump terpilih menjadi Presiden AS karena memilki “pendekatan yang sangat berbeda” dari pendekatan yang presiden AS sebelumnya terhadap Korea Utara (Bennet & Wilkinson, 2018). Seperti yang diketahui dari perjalanan sejarah, bahwa AS dan sekutunya telah mencoba bernegosiasi “membujuk” Korea Utara untuk menghentikan program senjata nuklirnya sejak awal tahun 1990an, namun setiap negosiasi yang dilaksanakan berujung pada kegagalan. Terlebih baru-baru ini, Korea Utara berhasil melakukan uji coba intercontinental ballistic missile (ICBM) yang menjangkau benua Amerika, sehingga White House melihat Korea Utara telah membuat situasi satu langkah lagi menuju peperangan nuklir.

Maka, dapat dipahami bahwa inisiasi Jong-Un dalam pertemuan ini merupakan pergerakan diplomasi yang cepat. Hal ini juga dibuktikan oleh rencana pertemuan Jong-Un dengan Presiden Korea Selatan, Moon Jae-In pada bulan depan. Hal ini akan menjadi pertemuan ketiga antara pemimpin Korea Utara dan Korea Selatan semenjak gencatan senjata pada tahun 1953 (Sang-Hun, 2018). Pertemuan tersebut dapat dilihat dari itikad Korea Utara untuk memulai sekenario baru dengan Korea Selatan dan AS.

Undangan Jong-Un dan respon spontan Trump pada dasarnya berdampak pada berkurangnya ketegangan di Laut Cina Timur. Namun dalam tingkat high-stake diplomacy, Jong-Un memilki keunggulan ketimbang Trump. Korea Utara dapat mengatakan akan menangguhkan uji coba nuklirnya, dikarenakan Korea Utara telah berhasil menguji enam perangkat dan menciptakan senjata thermonuclear dalam program uji coba nuklir sebelumnya.

Proses menuju pertemuan dan pembicaraan kedua negara tersebut (yang pastinya akan bertahap) juga akan memberi waktu terhadap Korea Utara dalam menghadapi potensi sanksi ekonomi yang mendalam, tanpa menganggu ambisi pengembangan nuklirnya. Sehingga, dapat dipahami bahwa undangan Jong-Un merupakan pilhan yang rasional bagi Korea Utara, sisanya tergantung Trump dan “pendekatan berbedanya” yang memilki element of surprises.

Rizky Reza Lubis – Pemerhati isu Hubungan Internasional.

Referensi

  • Borger, Julian, 9 Maret 2018, https://www.theguardian.com/world/2018/mar/08/donald-trump-north-korea-kim-jong-un-meeting-may-letter-invite-talks-nuclear-weapons
  • Benett, Brian & Wilkinson, Tracy http://www.latimes.com/nation/la-fg-us-north-korea-20180308-story.html
  • Sang-Hun, Choe, 21 Maret 2018 https://www.nytimes.com/2018/03/08/us/politics/trump-meeting-kim-jong-un.html
Share.

Comments are closed.